PK-124 Arsa Candradimuka LPDP 2018 |
Mungkin hampir 8 bulan saya dinyatakan lulus seleksi Beasiswa LPDP Afirmasi tujuan luar negeri terhitung hingga tulisan ini dibuat. Saya dinyatakan lolos setelah melalui proses yang sangat panjang sejak July 2017, proses tersebut diantaranya adalah:
- seleksi berkas/dokumen,
- selek online assessment,
- seleksi substansi (interview, leaderless group discussion, dan on the spot essay writing)
Saat ini semua proses sudah hampir selesai diantaranya IELTS sesuai permintaan kampus setelah 2 kali test, LoA unconditional jurusan Aquaculture and Marine Resource Management di Wageningen University and Research, Belanda, Surat Perjanjian Kontrak dengan LPDP, Letter of Sponsorship (LoS), dan Letter of Guarantee (LoG). Proses selanjutnya adalah mengurus visa, dan tetek bengek lain menjelang keberangkatan. Akan tetapi, dalam proses keberangkatan ini sembari tetap berjualan kopi seperti biasanya, ada fenomena menarik yang saya dapatkan ketika melihat beberapa orang yang menyebut dirinya Scholarship Hunter atau pejuang beasiswa yang dengan gigihnya tanpa lelah memperjuangkan cita-cita dan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan tak tanggung-tanggung hingga ke luar negeri. Diantara mereka ada yang dari kalangan professional (sudah bekerja dan dapat tugas belajar), ada yang 2-3 tahun lulus S-1, bahkan ada yang fresh graduate alias baru lulus, jan masih anget-angetnya lulus kuliah.
Saya sempat melakukan interview secara informal kepada para pejuang beasiswa tersebut di salah satu lembaga kursus terkenal ketika saya belajar IELTS tempo hari, dan hasilnya mengejutkan. Semangat teman-teman memang tak diragukan dalam menggapai cita-cita. Tapi, ada satu hal yang sangat mengganjal perasaan saya selama menjadi interviewer disana. Saya mendapati banyak yang berjuang untuk apply beasiswa khususnya LPDP yang hanya dilandasi oleh ambisi mewujudkan cita-cita, bahkan tak jarang ada yang mendaftar beasiswa karena ini merupakan pilihan terakhir karena sudah melamar kerja kemana-mana tapi hasilnya nihil.
Jadi apabila dikategorikan ada beberapa motivasi kenapa melanjutkan studi lanjut marak digandrungi masa kini (berdasarkan yang saya temui, mungkin bisa ditambah sendiri):
- Tuntutan profesi dan urgensi untuk meningkatkan kapabilitas melalui jalur pendidikan, dalam konteks ini saya banyak menemui dosen atau researcher yang fokus pada bidang-bidang tertentu.
- Ambisi mewujudkan cita-cita, pejuang tipe ini banyak yang menjadikan beasiswa sebagai ajang pembuktian diri dalam arti keinginan misal untuk mewujudkan mimpi, membahagiakan orang tua, keluarga, atau juga menaklukkan calon mertua, hehe. Orang semacam ini yang saya dapati melihat beasiswa dan studi lanjut ke luar negeri itu seolah adalah tujuan utama dan final sehingga apapun akan dia korbankan untuk mewujudkan keinginannya.
- Terinspirasi oleh postingan foto instagram di luar negeri yang 'seolah' wow dan keren travelling, mainan salju, selfie sana sini, biasanya orang seperti ini terpacu oleh negara tujuan tanpa pikir pusing jurusan atau kampus yang diinginkan pokoknya negara A titik.
- Keadaan di suatu masyarakat yang memaksa untuk studi, orang semacam ini datang dari suatu daerah yang mendapati masyarakatnya memiliki banyak masalah sehingga tergerak untuk turut andil dalam penyelesaian masalah tersebut.
- Bingung mencari kerja, setengah putus asa akhirnya memutuskan untuk lanjut studi saja. Ini adalah poin yang unik yang saya temukan dimana orang semacam ini menganggap beasiswa mampu menjadi tameng untuk menangkis omongan tetangga, orang tua, kerabat akibat susahnya mencari kerja.
Iya, beasiswa sudah diibaratkan layaknya ladang mencari nafkah untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, dollar, pounds, atau bahkan yuro untuk sementara, ditambah bonus belajar mendapatkan gelar dan ijazah yang diharapkan ketika selesai kuliah pekerjaan akan semakin mudah, serta opportunity pun juga bertambah. Rupaya hasil obervasi saya salah, trend melanjutkan studi lanjut karena susah cari kerja tidak hanya terjadi bagi scholarship hunter saja, saya juga menemui mahasiswa kinyis-kinyis alias lulusan baru dengan background keluarga yang relatif mampu juga melanjutkan pendidikan lebih tinggi dengan jawaban melalui percakapan sebagai berikut antara Saya dan Surti (bukan nama sebenarnya):
Saya: "Sampean kenapa to kok mau lanjut sekolah lagi? Kan orang tua juga mampu dan punya bisnis yang cukup untuk menghidupi keluarga."
Surti: "Hoalah mas, sekarang cari kerja itu susah kalau cuma modal S-1, soale lulusan S-1 ki sudah banyak bertebaran dimana-mana, makanya sekarang harus S-2 minimal biar mudah dapat kerja. Terus pengennya orang tua itu yaa anaknya ini kerja di kantor yang berseragam necis gitu loh mas bukannya jualan di pasar kaya Bapak/Ibuk atau ternak tani di rumah."
Oke saya mulai paham menarik benang merahnya yaitu antara menganggur susah dapat kerja, sekolah lanjut S-2 dengan harapan biar dapat kerja lebih keren, dan tuntutan orang tua supaya berseragam. Kira-kira begitu premisnya untuk mendeskripsikan kondisi saat ini.
Iya lagi-lagi tidak ada yang salah dalam menentukan pilihan semacam itu...
Tapi, saya hanya berpikir kalau studi lanjut hanya karena biar ada kegiatan karena susah cari kerja dan menganggur bukankah kemungkinan susah dapat kerja dan mengaggur masih memiliki peluang untuk terjadi lagi ketika susah lulus S-2? *hanya pikiran liar saja
Mungkin perlu kita tau semakin tinggi level pendidikan, semakin tinggi pula beban dan tanggung jawab yang dipikul apalagi dengan beasiswa dana pemerintah seperti LPDP. Pada faktanya saya sangat hormat kepada kawan-kawan yang sebenarnya sudah settle dalam karir, punya keluarga yang harmonis, tetapi masih mau menyisihkan waktu untuk meng-upgrade kapasitas diri dengan belajar. Jadi, kita tidak belajar atau studi lanjut karena kami menganggur sekali lagi tidak!
Kalau saya pribadi hanya seorang penjual kopi keliling dan tidak saya tutupi, bahkan ketika interview beasiswa pun saya jelaskan secara gamblang, saya tidak bekerja dengan instansi korporasi manapun, saya bukan ASN/PNS saya hanya seorang penjual kopi kecil keliling dari pesisir. Tapi, terlepas dari saya yang memang konyol, ada banyak kawan-kawan di sana yang berangkat studi memang sudah siap secara dhohiriyah dan bathiniyah, jadi ketika kembali selesai studi tidak justru masih bingung mencari kerja sana sini. Mereka pulang untuk menerapkan ilmu yang didapat, melanjutkan apa yang sudah dimulai ketika ditinggal berangkat studi.
Disini saya menekankan pentingnya memiliki purpose untuk apa kita studi lanjut, apa motif yang mendasari kenapa kita studi lanjut, dan urgensi apa yang membuat kita harus studi lanjut. Sekali lagi, itu pilihan yaa kawan-kawan, tidak ada yang salah dalam setiap pilihan itu.
Mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri, termasuk kategori yang manakah kita?