Di dunia ini sudah terlalu banyak masalah
diantaranya adalah kemiskinan, polusi, ketahanan pangan dll., isu-isu yang menjadi
focus dunia saat ini adalah degradasi lingkungan khususnya di bidang kelautan
dan perikanan. Dara pusat penelitian oseanografi LIPI (2012) dalam
Greenpeace (2014) hanya 5,3% dari total keseluruhan terumbu karang di Indonesia
yang tergolong sangat baik. Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi
baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk11.
Bahkan, Burke, dkk. menyebutkan setengah abad terakhir ini degradasi terumbu
karang di Indonesia meningkat dari 10% menjadi 50%12.
Untuk itu perlu tindakan konkret untuk mangatasi
masalah di atas. Tindakan yang kita harus lakukan adalah restorasi tutupan
karang tersebut akan tetapi itu tidak cukup tanpa adanya monitoring dari
program restorasi yang diterapkan.
Konsep“gardening of coral reef” sekarang menjadi
pilihan bagi para ilmuwan di dunia untuk mengembalikan ekosistem terumbu
karang. Coral garden merupakan “usaha aktif” untuk memulihkan kembali
ekosistem terumbu karang, Teknik
rehabilitasi ekosistem terumbu karang menggunakan konsep “gardening of coral
reef” ini akan menjadi studi yang menarik di Pulau Sempu dimana kondisi
terumbu karang di kawasan lindung ini terancam mengalami percepatan kerusakan
terumbu karang dikarenakan adanya proses reklamasi pembangunan pelabuhan dan
kegiatan wisata, sehingga kegiatan ini merupakan starting point untuk pemulihan
ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut sekaligus dapat menjadi fish
sanctuary di masa yang akan datang ( Luthfi,2013 ).
Menurut Pujiatmoko (2009) Banyak ilmuwan mnyatakan
bahwa penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah manusia (Antropogenic
Impact) misalnya melalui kegiatan tangkap yang berlebihan (Over Exploitation)
terhadap hasil laut, penggunaan teknologi yang merusak seperti pengunaan bom,
potasium sianida, muro ami dan lain-lain, erosi, limbah industri dan
missmanajemen dari kegiatan pertambangan telah merusak terumbu karang baik
secara langsung maupun tidak langsung. Akar permasalahan timbulnya ulah manusia
untuk merusak terumbu karang adalah :
1. Kependudukan
dan Kemiskinan
2. Tingkat
konsumsi berlebihan dan kesenjangan sumber daya alam
3. Rendahnya
pemahaman tentang ekosistem
4. Kegagalan
sistem ekonomi dan kebijakan dalam penelitian ekosistem
2. Fungsi Monitoring
Menurut Dahuri dan
Supriharyono, dariluas terumbu karang yang ada di Indonesiasekitar 51.000 km 2
diperkirakan hanya 7 %terumbu karang yang kondisinya sangatbaik, 33 % baik, 45
% rusak dan 15 %lainnya kondisinya sudah kritis 4,6 ) . Kondisiterumbu karang
yang memprihatinkantersebut diperparah dengan lemahnyakoordinasi dan
perencanaan lemaba terkaitdalam pencegahan kerusakan dan kegiatanmonitoring
terumbu karang. Kegiatanmonitoring yang dilakukan sangat terbatas.Hanya
beberapa area terumbu karang yangdikaji secara rutin, sehingga data kondisidan
perubahan untuk keseluruhan sangatsulit diperoleh. Fungsi monitoring terumbu
karang dapat mencegahnya rusaknya ekosistem terumbu karang secara cepat
(Santoso, 2008).
Pemantauan ekosistem
terumbu karang akan lebih baik jika dilaksanakan secara berkala (monitoring).
Kegiatan monitoring ini selain akan memberikan informasi terkini juga dapat
menganalisis perubahan yang terejadi hingga batas waktu tertentu. Analisa
perubahan yang terjadi dapat menghasilkan kesimpulan mengenai proses
perkembangan suatu wilayah. Hasilnya, jika ternyata setelah pemantauan
dilaksanakan terumbu karang di wilayah tersebut kondisinya membaik maka perlu
dilaksanakan upaya pelestarian supaya kondisi terumbu karang tidak
terdegredasi. Jika ternyata hasil dari monitoring menunjukkan penurunan kondisi
dari keadaan sebelumnya, maka perlu dilaksanakan rehabilitasi lingkungan tersebut
supayatidak terjadi kerasukan lebih lanjut (Muttaqin, 2011).
Melalui monitoring akan
diketahui keefektifan prosespelekaksanaan penelitian dan melalui evaluasi akan
diketahui mutu hasil atau baiktidaknya suatu hasil penelitian. Monitoring dan
evaluasi atau sering disingkat Monevseringkali menjadi kunci dalam penjaminan
mutu suatu program, termasuk dalam program penelitian (Lembaga penelitian,
2006).
Tujuan monitoring
adalah untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan penelitian, Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi, untuk
mengetahui prospek pencapaian hasil dan memberikan informasi tentang
administrasi proyek penelitian dan rnenerima masukanmasukanyang diperlukan
dalam penyelenggaraan program penelitian pada tahun anggaran yang akan datang
(LPPM, 2009).
3. Metode Monitoring
Monitoring kelangsungan
hidup karang yang di tranplantasi di amati sejak hari pertama hingga selama 3
(tiga) bulan dengan periode 1 (satu) kali dalam seminggu. Pemgamatan karang
yang di tranplantasi mencakup jumlah karang yang ditranplantasi yang mengalami
kematian, umur karang tranplantasi yang mati dan faktor-faktor penyebab
kematian. Monitoring laju pertumbuhan karang yang di transplantasi diamati
sejak minggu pertama dengan periode dengan periode 2 (dua) bulan sekali.
Pengamatan karang yang dtransplantasi mencakup ukuran panjang vertikal, ukuran
panjang secara horizontal, lebar diameter koloni dan jumlah tunas. Pencatatan
data dilakukan dengan menggunakan alat tulis bawah air dan untuk
mendokumentasikan pertumbuhan karang yang ditranplantasi digunakan kamera bawah
air dan peralatan selam SCUBA. Pengukuran pertumbuhan di lakukan dengan
ketelitian 0,1 cm, dengan menggunakan alat pengukur seperti caliper (jangka
sorong). Selain itu dalam pemantauan juga dapat didata jenis-jenis ikan maupun
populasi ikan setelah ada kegiatan rehabilitasi karang (Harianto et al, 2014).
Monitoring kegiatan
pada karang yang telah dtransplantasi bertujuan untuk (a) Untuk mengetahui
kondidsi karang yang telah ditransplantasi , (b) untuk mengetahui survival rate
karang yang ditransplantasi, dan (c) untuk mengetahui laju pertumbuhan karang
pada yang karang yang telah dtransplantasi. Sejak hari pertama pencangkokan.
Pengamatan karang yang di transplantasi mencakup lama pengeluaran lendir dan
waktu penyembuhan. Pengamatan waktu pengeluaran lendir dimaksudkan untuk
mengetahui sampai berapa lama bekas pemotongan pada karang yang dtranplantasi
masih mengeluarkan lendir (Sadarun,1999).
Dalam memonitoring terumbu karang
terdapat beberapa metode yang digunakan. Metode ini dibagi menjadi tiga skala,
yaitu skala luas, sedang dan detil. Metode skala luas meliputi metode manta tow
dan metode timed swim. Skala sedang menggunakan metode point intercept transek
dan line intercept transek. Sedangkan skala detil menggunakan metode quadran
dan belt transek. Berikut ini masing-masing penjelasan dari beberapa metode
tersebut.
a.
Metode skala
luas
Ø Metode
manta tow
Metode Manta Tow
adalah suatu teknik pengamatan kondisi terumbu karang atau parameter tertentu
dengan cara menarik pengamat yang memakai peralatan dasar menyelam di belakang
perahu kecil bermesin melalui sebuah tali dengan kecepatan konstan untuk mencatat data setiap waktu
tertentu (misalnya setiap 2 menit). Pengamat akan melihat objek yang
dilintasi, lalu menilai persentase penutupan karang hidup (keras dan lunak),
karang mati maupun objek lain yang diinginkan dan dicatat pada waktu berhenti
dalam bentuk persentase pada alat tulis yang dijepit pada papan manta yang tersedia.
Ø Metode
Timed Swim adalah metode yang dikembangkan untuk skala luas ataupun sedang,
misalnya dalam sistem peringatan dini cepat dalam melihat suatu perubahan
penutupan karang, perikanan dengan bom, bleaching atau COTS. Dengan metode ini, pengamat berenang pada suatu kedalaman dan
kecepatan yang konstan selama waktu tertentu
a.
Metode skala
sedang
Ø Point
intercept transek
Metode ini adalah metode
transek yang paling sederhana. Pengamat berenang sepanjang transek garis dan
mencatat kategori bentik yang terletak tepat dibawah transek pada titik-titik
tertentu (poin) di sepanjang transek.Metode ini digunakan untuk mendapatkan
data persen tutupan komunitas bentik dengan lebih akurat jika dibanding dengan
survey manta dan survey snorkel.
1. Hasil Monitoring
Sebagai contoh
monitoring terumbu karang di Perairan Sanur, maka didapat hasil sebagai
berikut:
1.
Stasiun 1
(Sebelah utara pantai Bali Beach)
Dari
grafik dibawah dapat disimpulkan bahwa kondisi
terumbu karang di stasiun 1 masih dalam kondisi yang baik dengan
prosentase lebih dari 50% karang hidup baik dikedalaman 3 maupun 8 meter. Dari
hasil monitoring masih terdapat karang mati yang ditumbuhi algae, tetapi
kematian karang lebih banyak disebabkan oleh predator alami karang.
1.
Stasiun 2
(sekitar perairan Pantai Werdapura)
Dari hasil monitoring, didapatkan hasil bahwa status
karang hidup baik pada kedalaman 3 meter dan dalam kondisi sedang pada
kedalaman 8 meter. Karang mati yang ditumbuhi algae maupun karang mati dijumpai
hanya 2,25% pada kedalaman 3 meter dan 18,8% pada kedalaman 8 meter.
1.
Stasiun 3
(sekitar Pantai Mertasari)
Kondisi
karang hidup pada stasiun 3 menunjukkan stasus baik denga prosentase lebih dari
60% baik pada kedalaman 3 maupun 8 meter. Kondisi karang mati pun tidak terlalu
banyak, yaitu hanya ,9% pada kedalaman 3 meter dan 9,3% pada kedalaman 8 meter.
1.
Stasiun 4
(sekitar Pantai Kesumasari)
Kondisi terumbu
karang pada stasiun 4 menunjukkan status sedang dengan prosentase 49,52% di
kedalaman 3 meter dan status baik 63,2% di kedalaman 8 meter. Tidak dujumpai
karang mati pada kedalaman 3 meter dan hanya terdapat 0,8% karang mati pada
kedalaman 8 meter.
Contoh kedua dari hasil monitoring terumbu karang,
yaitu hasil monitoring terumbu karang di Perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara
Timur. Terumbu karang di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu ditemukan
tersebar di perairan desa-desa pesisir di Kabupaten Kupang, Kab. Rote Ndao,
Kab. Sabu Raijua, Kab. Sumba Timur, Kab. Sumba Tengah, Kab. Sumba Barat Daya,
Kab. Manggarai dan Kab. Manggarai Barat dan sebarannya terkonsentrasi terutama
di Kab. Rote Ndao. Kondisi terumbu karang bervariasi dari keadaan baik sekali
hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidupnya.
Hasil pengamatan lintasan survey sepanjang 413,63 km yang meliputi 8 kabupaten
di kawasan TNP Laut Sawu menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang dalam
kategori baik sekali adalah 0,4%, kondisi baik 4,6%, kondisi sedang 39,2%,
kondisi buruk 28,4% dan kondisi buruk sekali 27,4%. Hasil ini mengindikasikan
hampir sebagian dari total lintasan survey terumbu karang di TNP Laut Sawu
dalam keadan buruk (persentase tutupan karang hidup ≤ 25%).
1.
Kabupaten Kupang
Kondisi terumbu karang di Kab. Kupang bervariasi
dari kondisi baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase
tutupan karang hidup tertinggi 80% hingga tidak ditemukan karang hidup. Hampir
sepanjang lintasan survey di Desa Soliu tidak ditemukan karang hidup dan
substrat dasar perairan didominasi oleh pasir dan batu dengan persentase
tutupan masing-masing dalam kisaran 30-100% dan 5-40% sehingga kondisi terumbu
karang termasuk kategori buruk sekali. Kondisi terumbu yang buruk sekali di
Desa Soliu ini bukan karena kerusakan terumbu karang tetapi akibat substrat
dasar dan perairan yang kurang mendukung pertumbuhan karang.
2.
Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat
Terumbu karang di Kab. Manggarai dan
Kab. Manggarai Barat tersebar di pesisir Desa Sataruwuk, Desa Cekaluju (Kab.
Manggarai) dan Desa Nangabere (Kab. Manggarai Barat) serta di P. Nuca Molas
Desa Satarlenda (Kab. Manggarai). Kondisi terumbu karang di dua kabupaten
tersebut bervariasi dari sedang hingga buruk sekali, ditunjukkan dari persen
tutupan karang hidup 10-50%. Terumbu karang di desa-desa pesisir tersebut
umumnya dalam kategori buruk hingga buruk sekali dengan persen tutupan karang ≤
25%.
3.
Kabupaten Rote Ndao
Kondisi terumbu karang di Kab. Rote Ndao bervariasi
dari baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan
karang hidup dari 80% hingga 5%. Kategori baik sekali ditemukan di Desa
Tesabela (Rote Timur), Desa Onatali (Lobalaen) dan P. Ndo’o (Rote Barat)
sedangkan kategori baik (51-75%) selain ditemukan di desa-desa tersebut juga
ditemukan dalam lintasan yang pendek di Desa Sotimori, Bolatena, Nggodimeda,
Maubesi, Netenaen, Oelua, Oeseli, Oebou, Oeteffu dan P. Nuse. Kondisi terumbu
karang kategori sedang (26-50%) umumnya ditemukan dalam lintasan yang panjang
di desa-desa pesisir Kab Rote Ndao. Kondisi buruk hingga buruk sekali (≤ 25%)
umumnya dijumpai di Desa Daiama, Mulut Seribu Kec. Rote Timur.
4.
Kabupaten Sabu Raijua
Kondisi terumbu karang di Kab. Sabu Raijua
bervariasi dari baik hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase
tutupan karang hidup 10-60%. Kategori baik hanya ditemukan pada lintasan yang
pendek di Desa Menia Kec. Sabu Barat dan Desa Molie, Kec. Hawu Mehara,
sedangkan kategori sedang umum ditemukan di Kab. Sabu Raijua. Kondisi terumbu
karang sedang selain dijumpai di Desa Molie juga terdapat di desa-desa di
kecamatan yang sama seperti Lobohede, Daeiko, Raedewa, Kecamatan Sabu Barat
(Desa Mebba dan Menia), Kecamatan Raijua (Desa Ledeke, Ledeunu, Ballu dan
Kolare).
5.
Kab. Sumba Timur
Kondisi terumbu karang di Kabupaten Sumba Timur
menunjukkan kondisi bervariasi dari kategori baik hingga buruk sekali. Hal
tersebut ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup yang berkisar antara
5-70%. Kondisi terumbu karang kategori baik hingga sedang (40-70%) ditemukan di
Desa Napu, Kec. Haharu, kategori sedang hingga buruk (20-40%) ditemukan di Desa
Kayuri (Kec. Rindi) dan kategori sedang hingga buruk sekali (10-50%) terdapat
di Desa Heikatapu (Kec. Rindi) dan Desa Rindi, Kec. Rindi.
6.
Kabupaten Sumba Tengah
Kondisi terumbu karang di Kab. Sumba Tengah
bervariasi dari baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh
persentase tutupan karang hidup 5-80%. Kondisi baik sekali ditemukan di Desa
Lenang Kec. Katikutana, kondisi baik (51-75%) ditemukan di Desa Lenang dan
Tanambanas, kondisi sedang umumnya ditemukan di semua desa (Desa Lenang,
Tanambanas, Wendewa Timur dan Wendewa Utara) sedangkan kondisi buruk dan buruk
sekali juga ditemukan dalam lintasan yang pendek di semua desa.
7.
Kabupaten Sumba Barat Daya
Kondisi terumbu karang di Kab. Sumba Barat Daya
bervariasi dari baik hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase
tutupan karang hidup 5- 60%. Kondisi terumbu kategori baik ditemukan di Desa
Weelonda, Kec. Kodi Utara dengan
penyusun utama karang tabulate dan branching. Kondisi
terumbu karang yang umum ditemukan di Kab, Sumba Barat Daya adalah kategori
sedang (26-50%) berpadu dengan kondisi buruk (10-25%) yang ditemukan di semua
desa-desa pesisir Kab. Sumba Barat Daya, yaitu Bukambero, Weelonda, Kori,
Weepangali, Karuni, Letekonda.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan Semarang. 2008. Ekositem Terumbu Karang di Karimunjawa. tnkarimunjawa.de
phut.go.id/download/terumbu%20 karang.pdf. Diaksespada 6 Desember 2014
pukuk 09.10 WIB.
Edi Rudi &
Safran Yusri. 2014. metode
Monitoring Terumbu Karang | Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI)
http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129%3Ametode-
monitoring-terumbu-karang &catid=53%3Asains&Itemid=52&lang=id#ixzz3LAm7lGt4. Diakses pada 7 desember 2014.
Harianto,
Musrin, Asri.2014. Rehabilitasi Terumbu
Karang Akibat Pengeboman Dengan Metode
Transplantasi Menggunakan Karang
Jenis Acropora sp.Program Kreatifitas Mahasiswa. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo : Sulawesi Tenggara.
Lembaga
Penelitian Dan PengabdianKepada Masyarakat. 2009. Pedoman Monitoring
Penelitian Desentralisasi. Universitas Brawijaya : Malang.
Lembaga
Penelitian. 2006. Pedoman Pengelolaan Penelitian. Universitas Negeri
Jakarta : Jakarta.
Luthfi,
O.M dan Jauhari, A. 2013. Stok dan Habitat Enhancement Terumbu Karang di
Perairan Sendang Biru, Malang dalam Usaha Menghidupkan Kembali Live- Reef Fish
Trade. LPPM Universitas Brawijaya (tidak dipublikasikan)
Munasik,
et al. 2011. Kondisi Terumbu Karang di Taman Nasional Perairan Laut Sawu
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Energi.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas
Diponegoro, Semarang. The Nature Conservancy (TNC) Savu Project, Kupang
Muttaqin,
Aisyah Fitri, Fadillah, Arinta Dwi Hapsari. 2011. Coral Bleaching Ancaman
Terbesar Ekosistem Terumbu Karang Saatini: analisis Penyebab dan Upaya
Pemantauan. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Prasetyo,
Rahmadidan I Gede Widhiantara. 2011. Kajian Potensi Kerusakan Terumbu Karang
dan Alternatif Pemecahannya di Perairan Sanur.
Pujiatmoko. 2009.
Pembahasan Restorasi Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sadarun,
1999. Transplantasi Karang Batu (Stony
Coral) di kepulauan seribu teluk Jakarta. Tesis Program Pasca Sarjana IPB.