YSEALI: Persahabatan Bervisi Mie Instant

Young SouthEast Asian Leader Initiative Juorney.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Pembagian Potensi Perikanan Indonesia berdasarkan Region.

Romansa Negeri Sakura: Hakone Moutn Shizuoka Perfecture

AFS Intercultural Learning Japan - Kizuna Bond Project.

Pemetaan Mangrove di Sidoarjo dengan Citra Satelit Landsat

Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing.

Thursday, December 24, 2015

DAMPAK DARI STRUKTUR HUTAN MANGROVE TERHADAP PEREDAMAN GELOMBANG DI PESISIR VIETNAM

DAMPAK DARI STRUKTUR HUTAN MANGROVE TERHADAP PEREDAMAN GELOMBANG DI PESISIR VIETNAM
Tran Quan Bao
Received 5 November 2010, revised 11 August 2011, accepted 30 August 2011.
Abstrak
Paper ini  menganaslisa peredaman gelombang di hutan mangrove yang terletak di pesisir Vietnam.  Data dari 32 plot mangrove dari enam spesies yang terletak di dua tempat pesisir digunakan untuk penelitian ini. Dalam setiap plot, struktur hutan mangrove dan tinggi gelombang pada jarak lintas pesisir yang berbeda diukur. Tinggi gelombang berhubungan dengan jarak lintas pesisir. 92 rumus regresi eksponensial memiliki H signifikan R2 > 0.95 dan P val. < 0,001. Reduksi tinggi gelombang terganting dengan tinggi gelombang awal, jarak cross-shore, dan struktur hutan mangrove. Hubungan ini digunakan untuk menentukan luasan mangrove untuk perlindungan pesisir dari gelombang di Vietnam.
1.                  Pengenalan
Hutan mangrove terbentang diantara lautan dan lingkungan terrestrial, tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut, dan sepanjang garis pantai, dimana mangrove digenangi oleh air asin ataupun air payau. Hutan mangrove memiliki peran vital dalam perlindungan pesisir, mitigasi gelombang dan dampak badai, stabilisasi sedimen, dan proteksi atas qualitas air di pesisir. Mangrove juga menyediakan habitat untuk ikan dan binatang liar. Banyak spesies yang akhir akhir ini didokumentasikan di area hutan mangrove. Batang dan akar mangrove memiliki kemampuan untuk mempengaruhi hidrodinamika dan transport sediment di hutan.
Hutan mangrove pesisir dapat memitigasi gelombang tinggi, meskipun tsunami. Dengan mengamati tsunami 26 Desember 2004, Kathiresan dan Rahendaran (2005) menggaris bawahi efektivitas mangrove dalam pengurangan energi gelombang. Jumlah korban meninggal dan hilangnya harta benda di area yang memiliki hutan mengrove lebat lebih rendah. Sebuah revire dari Alongi (2008) menyimpulkan aliran gelombang tsunami secara signifikan dikurangi ketika hutan mangrove memiliki luas 100 meter. Spectrum energi gelombang dan kekuatan gelombang dihilangkan dalam hutan mangrove meskipun pada jarak yang kecil. Kekuatan dari energi diserap tergantung kepada seberapa kuat struktur mangrove.
Dalam sebuah studi di delta sungai merah Vietnam, menunjukan bahwa reduksi gelombang yang direduksi pohon secara signifikan pada densitas yang tinggi, 6 tahun hutan mengrove. Hidrodinamika hutan mangrove berubah berdasar luasan, spesies, kerapatan, dan kondisi pasang surut. Keraptan mangrove yang tinggi dan akar yang kuat menunjukan reduksi kekuatan yang lebih tinggi dari pada yang permukaan berpasir dari lumpur. Reduksi gelombang dapat ditunjukan sebagai sebuah fungsi eksponensial.
Tujuan umum dari paper ini adalah untuk menganalisa hubungan antara tinggi gelombang dan struktur hutan mangrove, lalu mendefinisikan hutan mangrove minimum untuk perlindungan pesisir dari gelombang di Vietnam.
2.               Materi dan Metode
2.1.                        Tempat Studi
Studi ini dilakukan pada dua hutan mangrove pesisir yang ada di Vietnam. Studi utara terletak di delta (delta kedua terbesar di Vietnam) dari Sungai Merah, yang mengalir ke teluk Tonkin.

Pasang surut teluk Tonkin terkategori pasut diurnal dengan kisaran 2,6 – 3,2 meter. Mangrove yang terdapat di daerah tersebut merupakan satu dari mangrove besar yang tersisa, yang merupakan area terpenting untuk berkembang biak sepanjang jalur Asia Timur dan Australia. Di wilayah utara, ada 4 tempat utama untuk penelitian: Tien Liang, Cat Ba-Hai Phong, Hoang-TanQuang Ninh dan Tien Hai-Thai Binh.
Wilayah selatan penempatan penelitian difokuskan pada hutan mangrove Can Gio. Biosfer reserve pertama yang ada di Vietnam, terletak di 40 km tenggara kota Ho Chi Minh memiliki total luasan 75.740 Ha. Area ini termasuk semi-diurnal pasang surut, tumbuhan utama yang ada adalah mangrove. Ini adalah tempat penting untuk perlindungan satwa liar di Vietnam didominasi oleh biosistem lahan basah.
2.2.                        Pengumpulan Data

Total 32 plot hutan mangrove diatur di lima lokasi dari 2 region peisisr yang ada di Vietnam. Pada setiap plot dari 4000 m2 (20 m x 200 m), 2-5 transek disiapkan untuk mengukur ketinggian gelombang pada jarak yang berbeda (0 m, 20 m, 40 m, 60 m, 100 m, dan 120 m).

Pengambilan sampel dari struktur mangrove: diameter, tinggi, kerapatan, tutupan kanopi, dan spesies dikumpulkan di tiap plot. Pengurangan gelombang dianalisa dalam hubungan terhadap jarak, tinggi  gelombang baru, dan struktur hutan mangrove.
3.                  Hasil dan Pembahasan
3.1.                        Dampak Mangrove terhadap Tinggi Gelombang
Struktur 32 hutan mangrove pada 5 studi pesisir simple. Hanya ada 6 spesies dominan Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris, S. griffithii, Aegiceras corniculatum, Avicennia marina, Kandelia kandel dengan kerapatan pohon (2000 – 13.000 pohon/Ha) dan tutupan kanopi rata-rata > 80%. Diameter pohon dimulai antara 7,5 – 12 cm. Secara umum, DBH dan tinggi mangrove meningkat semakin ke Selatan. Hal ini dapat dijelaskan oleh beberapa sumber yang berbeda: lebih berlumpur dan iklim yang lebih hangat. Rata-rata tingginya adalah 20 – 70 cm.
Data tinggi gelombang diukur menggunakan metode regresi untuk memeriksa hubungan antara tinggi gelombang dan jarak hutan mangrove. Hasilnya menunjukan tinggi gelombang berkurang secara eksponensial dan secara signifikan berhubungan dengan jarak tersebut.


Dampak saluran hutan mangrove terhadap tinggi gelombang dapat dijelaskan dengan rumus berikut:
Wh = a x eb x Bw…………………………………………………………….(1)
Wh adalah tinggi gelombang laut di belakang hutan (cm), Bw adalah luasan hutan (m) a adalalah intersep dalam rumus, b adalah koefisien kemiringan.
a = 0.9899 × Iwh + 0.3526..………………………………………………(2)
a adalah koefisien eksponensial, Iwh  adalah tinggi gelombang baru.
b = 0.048 − 0.0016 × H − 0.00178 × ln(N) − 0.0077 × ln(CC)………………..(3)
dimana b adalah koefisien eksponensial, H adalah rata-rata tinggi pohon (m),  N adalah kerapatan pohon (pohon/Ha) dan CC adalah tutupan kanotpi (%).


3.2.                     Lebar Saluran Minimal Mangrove untuk proteksi Pesisir
Rumus integrasi adalah prediksi tinggi gelombang dari jarak pantai, struktur mangrove, dan gelombang baru. Luasan saluran mangrove didapat dari rumus di atas, dan diidentifikasi dengan rumus di bawah:
Bw =[ln(Wh) − ln(a)]/b…………………………………………………………..(4)
Dimana Bw adalah luasan hitan (m), Wh adalah tinggi gelombang aman di belakang hutan, a adalah fungsi tinggi gelombang baru, dan b adalah fungsi dari struktur hutan.















Berikut merupakan klasifikasi dari hutan mengrove untuk mencegah dari ancaman gelombang laut:


4.             Kesimpulan
Hutan mangrove adalah ekosistem yang sangat penting terletak di zona intertidal.  Diatur 32 plot dalam 2 wilayah di Vietnam untu mengukur, signifikan P > 0,001 dan R2 > 0,95.
Kami menurnkan persamaan eksponensial terintegrasi berlaku untuk semua kasus, di yang koefisien a (intersep dalam transformasi log dari eksponensial persamaan) adalah fungsi dari tinggi gelombang awal, dan koefisien b (kemiringan di transformasi log dari persamaan eksponensial) adalah fungsi dari penutupan kanopi, tinggi dan kepadatan. Persamaan terpadu digunakan untuk mendefinisikan lebar bakau yang tepat. Pada asumsinya, bahwa rata-rata tinggi gelombang maksimum adalah 300 cm dan gelombang tinggi yang aman di belakang hutan adalah 30 cm, lebar hutan mangrove diperlukan terkait dengan nya struktur didefinisikan. 

Thursday, December 10, 2015

POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN DI SUMATERA UTARA

POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN DI SUMATERA UTARA
1.      Latar Belakang masalah

Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan segala keunggunalan yang dimiliki dibidang ekologi dan hasil laut yang diakui secara internasional. Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Data yang didapat menunjukan potensi hasil perikanan laut di Indonesia Data yang didadat dari KKP (2015) perikanan tangkap Indonesia dari sebelum tahun 2013 tahun 1997 6,190 juta ton, tahun 1999 mencapai 6,4 juta ton, 2001  mencapai 6,409 juta ton, dan 2011 mencapai 6,502 juta ton. Hal tersebut merupakan potensi yang luar biasa dari perikanan tangkap Indonesia yang mampu menyumbang devisa negara hingga 3000 triliun per tahun apabila dimafaatkan secara optimal. Akan tetapi, kenyataan yang ada potensi yang sudah dimanfaatkan adalah 225 triliun pertahun atau hanya sekitar 7,5% saja.
Kondisi Indonesia sebagai negara maritim menuai masalah yang serius. Penurunan stok ikan tangkapan dan budidaya secara nasional adalah salah satunya. Di beberapa tempat, penurunan hasil tangkapan menurun dari tahun ke tahun WWF Indonesia (2014) menuturkan di WWP 571 yang mencakup Selat Malaka dan Laut Andaman menunjukkan penurunan produksi perikanan tangkap di laut yaitu dari 509.171 ton (2012) menjadi 475.489 ton (2013). Sementara di WPP 572 Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda juga telah terjadi penurunan produksi perikanan tangkap di laut yaitu dari 576.632 ton (2012) menjadi 575,091 ton (2013). Hasil serupa juga ditunjukkan dari angka catch per unit yang terus mengalami penurunan pada rentang 2004-2011. Analisa tersebut menggambarkan realitas di lapangan, di mana nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh dan mengeluarkan usaha yang lebih besar untuk mendapat hasil tangkapan. Hal serupa ternyata juga terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Maka perlu adanya upaya pemetaan potensi dan upaya untuk membangun perikanan yang berkelanjutan supaya tidak memunahkan populasi yang ada. Sehingga semua generasi baik sekarang maupun akan datang bisa merasakan.
 Provinsi Sumatera Utara
Potensi Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara terdiri dari Potensi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya, dimana Potensi Perikanan Tangkap terdiri Potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan Potensi di Samudera Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan Produksi Perikanan Budidaya terdiri Budidaya tambak 20.000 Ha dan Budidaya Laut 100.000 Ha, Budidaya air tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan Pesisir Sumatera Utara mempunyai Panjang Pantai 1300 Km yang terdiri dari Panjang Pantai Timur 545 km, Panjang Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan Pulau- Pulau Baru Sepanjang 350 Km (DKP Sumut, 2014). 
Wilayah pengembangan sektor perikanan dibagi menjadi beberapa wilayah kerja dengan potensi wilayah masing-masing. Wilayah tersebut adalah:
a)      Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara
Terdiri dari 12 kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dimana Potensi Pengembangan pada wilayah ini adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari Rumput Laut, Kerapu dan kakap, Budidaya tawar yang terdiri dari mas, nila, Lele, Patin, Gurame, Tawes dan Nilam. Budidaya Tambak yang terdiri dari Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng
b)      Wilayah Dataran Tinggi Sumatera Utara
Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah dataran tinggi Sumatera Utara adalah Wilayah yang berada di wilayah tengah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat. Sedangkan Potensi Pengembangan pada wilayah ini terdiri dari penangkapan ikan di perairan umum, pengolahan ikan. budidaya air tawar yaitu Nila, Mas, Lele, Patin dan Gurame
c)      Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah Pantai Timur Sumatera Utara yang terdiri dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, kabupaten Labuhan batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Batubara, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Dimana potensi pengembangan di wilayah Timur Sumatera Utara adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari kerapu, kakap, dan kerang hijau, Budidaya Tawar yaitu Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Grass carp, Lobster air tawar, Bawal tawar dan Ikan hias, Budidaya Tambak yaitu Rumput Laut, Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng, sedangkan Budidaya perairan umum yaitu Mas, Nila dll.
1.      Kondisi Perikanan Sumatera Utara dan Ancaman saat ini
Panjang garis pantai di provinsi Sumatera Utara ini tercatat 545 kilometer di wilayah pantai timur, yakni dari batas Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di utara hingga ke batas Riau di selatan yang terhampar persis dekat Selat Malaka. Di wilayah pantai barat, panjang garis pantainya tercatat 375 kilometer, sedangkan sekitar 380 kilometer lagi merupakan garis pantai di pulau-pulau Nias. Sektor perikanan tetap menjadi andalan bagi provinsi Sumatera Utara guna memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat daerah ini. Karena itulah, kebijakan pembangunan sektor ini ke depan didasarkan pada pendekatan pembagian tiga wilayah pengembangan. Tiga wilayah pengembangan tersebut masing-masing, wilayah pengembangan perikanan dan kelautan I.
Daerah yang masuk wilayah ini, antara lain, Mandailing Natal, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Nias. Potensi unggulan wilayah itu adalah penangkapan ikan lepas pantai dan perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Wilayah pengembangan II yang merupakan bagian tengah Sumut hanya bisa dikembangkan sebagai pusat perikanan budidaya. Misalnya, di sekitar Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Tapanuli Utara. Sama dengan wilayah I, pembangunan perikanan di wilayah III, yakni di bagian timur Sumut, tetap akan menjadi fokus pengembangan perikanan tangkap. Daerahnya terletak persis di sekitar perairan Selat Malaka, yaitu mulai dari Langkat di perbatasan NAD, hingga ke Medan, Deli Serdang, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu dekat perbatasan Riau. Pengembangan perikanan di wilayah II Sumut seharusnya tidak menemukan banyak masalah karena lebih pada budidaya darat yang sudah mengakar dari dulu di masyarakat. Persoalan paling besar di wilayah pengembangan I dan III Sumut, sebab sebagai andalan dan pusat aktivitas perikanan tangkap, maka ini terkait langsung dengan potensi alami di sana. Pengurasan potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan cara-cara penangkapan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi bumerang di belakang hari.
Potensi perikanan laut daerah ini sudah mulai tahap mengkhawatirkan, bisa dilihat dari ketimpangan potensi alami antara perairan pantai timur dan pantai barat Sumut. Ini mengkhawatirkan karena akan mengancam keberadaan dua sumber produksi ikan terbesar Sumut. Sudah sejak lama pantai timur dan barat Sumut menjadi ujung tombak perikanan tangkap, baik untuk pasar lokal, ekspor, maupun industri perikanan. Belawan dan Sibolga terkenal sebagai pelabuhan perikanan terbesar Sumut yang produksi ikan tangkapnya dikirim ke mana-mana. Badan Riset Kelautan dan Perikanan tahun 2001 mencatat, potensi perikanan di perairan pantai timur Sumut (sekitar Selat Malaka) tercatat sekitar 276.030 ton per tahun. Sedangkan pemanfaatan per tahun 2003 tercatat sekitar 255.499,2 ton. Angka ini memang mengejutkan karena, dengan data-data di atas, tergambar jelas kondisi perairan pantai timur Sumut sudah mendekati over fishing atau padat tangkap. Keadaan demikian menunjukkan betapa potensi perairan pantai timur sekitar Selat Malaka sudah sulit dioptimalkan karena tingkat pemanfaatannya mencapai 92 persen. Data Badan Riset Kelautan tersebut setidaknya memberi gambaran bahwa eksploitasi potensi perikanan tangkap di daerah ini tampaknya mulai timpang. Bandingkan dengan potensi perikanan di pantai barat Sumut (sekitar Samudra Hindia). Potensi perairan ini tercatat 1.076.960 ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 baru mencapai 96.597,1 ton (8,96 persen).
Tingkat pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang belum merata di Sumut, khususnya perikanan tangkap, jelas berpengaruh serius. Salah satunya berdampak terhadap hasil tangkapan yang tidak berimbang karena penangkapannya yang tidak rasional. Agar ketimpangan tersebut tidak berlanjut, sudah selayaknya Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut berupaya melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap sumber daya perikanan tangkap. Caranya, bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota yang menjadi penanggung jawab teritorial setempat. Selain itu, untuk pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan di Sumut, diharapkan pula adanya patroli pengawasan pantai maupun samudra secara berkesinambungan. Langkah-langkah di atas memang harus dilakukan untuk menjamin produksi perikanan di Sumut. Apalagi, lonjakan produksi penangkapan ikan daerah ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan potensi yang ada. Tahun 2002, misalnya, produksi penangkapan ikan di laut tercatat 345.192,4 ton, sedangkan tahun 2003 tercatat 352.096,2 ton atau hanya naik sekitar 1,9 persen. Sektor perikanan tampaknya memang tidak semata menjaring ikan, memancing, atau sekadar membuat keramba. Penggarapan potensi perikanan laut yang timpang pasti akan mengancam kelangsungan hidup nelayan ke depan.



REFERENSI

Barani, Husni Mangga. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tagkap Melalui Gerakan Nasional. [cited 2009 Mei 27]. Available at : http://tumoutou.net/702_07134/husni_mb.pdf
BPKM. 2015. Potensi Perikanan TAngkap di Sumatera Utara. (http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ic=1&ia=12). Diakses pada 24 November 2015 Pukul 10.20 WIB
DKP Sumut. 2014. Potensi Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara. (http://dkp.sumutprov.go.id/uptd_1_profil.php?kat=potensi). Diakses pada 24 November 2015 Pukul 10.20 WIB
WWF. 2014. Stok Ikan Indonesia Mulai Menurun, Bisnis Perikanan Terancam. (http://www.wwf.or.id/?33762/stok-ikan-indonesia-mulai-menurun-bisnis-perikanan-terancam). 24 November 2015 Pukul 22.27 WIB







1.

Friday, October 9, 2015

STUDI PENYEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI DI MUARA SUNGAI PORONG KABUPATEN PASURUAN

STUDI PENYEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI DI MUARA SUNGAI PORONG KABUPATEN PASURUAN


  1. Pendahuluan
Sungai Porong merupakan anak sungai Brantas. Sungai porong berperan sebagai jalur pelayaran bagi kapal-kapal kecil nelayan dan karena di muara sungai Porong terdapat delta yang dinamai Pulau Dem dan Pulau Tujuh yang digunakan sebagai area tambak. Proses pendangkalan yang terjadi di muara sungai Porong mengganggu jalur pelayaran.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebaran sedimen tersuspensi di perairan sekitar muara sungai Porong. Manfaatnya untuk mengetahui potensi pendangkalan di muara sungai Porong dan sekitarnya.
  1. Metode dan Materi
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah sebagai berikut:
  1. Data pasangs surut
  2. Dara arus
  3. Dara sedimen dasar
  4. Data sedimen tersuspensi
Data sekunder yang digunakan adalah:
  1. Data debit sungai Porong Bulan April 2008
  2. Data angin Juanda 9-24 April April 2009
  3. Peta Bathimetri Jawa-Pantai Utara Surabaya hingga Selat Bali
2.1.             Pengambilan Data Arus
Teknik pengukuran arus dapat dilakukan dengan pendekatan Lagrangian atau Eulerian dengan menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) tipe frekuensi 600Hz. Cara kerjanya dengan melalui gelombang akustik yang dipantulkan melalui transducer dan merambat ke kolom air.
2.2.             Pengambilan Data Pasut
Pengamatan pasang surut dilakukan untuk memperoleh data tinggi muka air laut di lokasi penelitian. Pengamatan pasut dilakukan dengan mencatat data tinggi muka air laut pada setiap interval waktu 1 jam. Rentang waktu pengamatan pasans surut yang dilakukan adalah 15 hari. Cara yang paling sederhana untuk mengamati pasang surut dilakukan dengan palem atau rambu pangamat pasang surut.
2.3.             Pengambilan Data Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan dua alat, yaitu sedimen grab untuk mengambil contoh sampel sedimen di muara, sedangkan untuk pengambilan contoh sampel sedimen di sekitar perairan muara sungai Porong diambil dengan menggunakan gravity core grab. Pengambilan contoh sedimen yang tersuspensi digunakan Botol nansen (water sampler).
  1. Pengolahan Data
3.1.     Pengolahan Data Arus
Pengambilan data arus dilakukan dengan teknik pengukuran Lagragian. Dalam proses perekaman data arus didapat juga koordinat titik pengukuran. Data yang didapat dikelompokkan untuk tiap waktu pengukuran 30 menit. Data kecepatan arus dalam cm/s diubah ke satuan m/s.
3.2.     Pengolahan Data Pasut
Data yang diperoleh di lapangan diolah dengan menggunakan metode admiralty untuk menentukan dinilai MSL,HHWL dan LLWL serta tipe pasang surut.
3.3.     Pembuatan Desain Model
Dalam pembuatan model ini menggunakan modul RMA2 untuk pola sirkulasi arus dan menggunakan modul SED2D untuk pola sebaran sedimen tersuspensi. Untuk menjalankan modul SED2D, harus menjalankan modul RMA2 terlebih dahulu karena solusi dari RMA2 akan digunakan sebagai dasar dari modul SED2D.
  1. Hasil dan Pembahasan
Pengamatan Pasang Surut dilakukan di kolam pelabuhan Indonesia Power Pasuruan dengan koordinat 11301’38,97” BT dan 7o38’41,89” LS. Berdasarkan perhitungan dengan metode Admiralty didapatkan tinggi muka air laut (MSL) 195,141 cm, pasang tertinggi (HHWL) 356,005 cm dan surut terendah (LLWL) 34,277 cm. Pengamatan bilangan formzal didapatkan 0,672 dan bertipe campuran cenderung ganda
4.1.     Kondisi Sediment Dasar
Pengambilan sampel sedimen dasar di perairan muara Sungai Porong tersebar pada 30 stasiun. Kandungan serta jenis sedimen dasar untuk tiap stasiun dapat dilihat pada tabel berikut:


4.2.     Hasil Simulasi Pola Arus Dasar
Pemodelan RMA2 menghasilkan peta pergerakan arus perairan muara sungai Porong. Kondisi tersebut diwakili dengan vektor arus yang memperlihatkan arah dan kecepatan arus yang dihasilkan. Berdasarkan hasil model didapatkan pola pergerakan arus di sekitar perairan muara sungai porong pada saat surut menuju pasang berorientasi dari Timur ke Barat kemudian membelok ke utara saat mendekati garis pantai.
4.3.     Hasil Simulasi Pola Sedimen Tersuspensi
Simulasi sebaran sedimen tersuspensi dilakukan dengan modul SED2D. Daerah studi yang ditinjau sama dengan daerah studi untuk simulasi pola arus. Hasil  simulasi konsentrasi sedimen tersuspensi ini dipengaruhi oleh arus, hasil model arus dengan RMA digunakan sebagai dasar untuk simulasi konsentrasi sedimen tersuspensi ini. Simulasi dilakukan dengan data masukan konsentrasi sedimen tersuspensi diberikan secara konstan selama 15 hari dan dengan besar yang sama. Kondisi perairan diasumsikan untuk 1 masukan sungai saja yaitu sungai porong.
4.4.     Pasang Surut
Dengan menggunakan metode admiralty diperoleh nilai MSL, HHWL, LLWL digunakan sebagai data acuan untuk jalur transportasi air yang menggunakan perairan muara sungai Porong dan sekitarnya. Saat air mengalami surut terendah (LLWL) yaitu 34,277 cm, dari hasil pengamatan di lapangan air laut surut hingga mencapai 1 km dari garis pantai muara sungai Porong. Dari hasil perhitungan nilai F (bilangan Formzahl) diperoleh nilai 0,672 tipe pasang surutnya campuran cenderung ganda. Hal ini sesuai dengan peta sebaran pasang surut di perairan Indonesia pada gambar 16 seperti yang terdapat dalam Triatmodjo (1996) bahwa tipe pasang surut kawasan teluk sekitar selat Madura yaitu campuran cenderung ganda.


PRE-EVENT APUFY 2015 Best Conflict Resolution Ever: Bhineka Tungal Ika

Best Conflict Resolution Ever: Bhineka Tungal Ika

by:

Ikbar Al Asyari (Malang)

Cultural diversity is often referred to as a problem and cause conflict to lead to murder and vandalism. In fact every religion teaches to love, cherish each other, and uphold tolerance.  In Islam, based on Holy Quran Surah. Al-Hujurah 13: O men! Behold, We have created you all out of a male and a female, and have made you into nations and tribes, so that you might come to know one another. Verily, the noblest of you in the sight of God is the one who is most deeply conscious of Him. Behold, God is all-knowing, all-aware. In the holy bible Matthew 22:39 “Love your neighbor as yourself”. In Hindu based on Holy Weda the concept is called Tri Hita Karana: always devoted to Sang Hyang Widdhi (God), live in harmony with the natural environment, and live in harmony with fellow human beings. Living tolerant without seeing: race, religion etc. in relationship with mankind Atharvaveda VII.52.1: Samjnanam nah svebhih, Samjnanam aranebhih, Samjnanam asvina yunam, ihasmasu ni ‘acchalam. In Buddha, Digha Nikaya I:3, Upali Sutta 16-17 and many other (Setiawan et al., 2014). From other religion must be teaching about love and giving a tolerant even with other people which have different religion. But in the fact, there’re so many conflict happen that cause of diversity (prejudice) or religion quibble.

The history has recorded many protracted conflicts, interethnic, interreligious, and tribal. World conflicts that have occurred include: Palestine & Israel conflict, Indonesia-Malaysia, China-Japan, North Korea-Republic of South Korea, Pakistan and India. On the other hand, these conflicts have occurred in the internal Indonesia: Sampit tragedy, conflict of Maluku, 1998 tragedy (ethnic Chinese-local people). It is true, the conflict is not solely due to the difference in ethnicity, religion, and race. However, in the above case is a manifestation of how the philosophy of Diversity (Bhineka Tunggal Ika) is not applied or have been betrayed.
Long ago before Indonesia was established and becoming independent as a nation, Bhineka Tunggal Ika has been applied and the Pancasila without a name has become ideology, and implemented a massively started in Majapahid Empire. Indonesia's diverse society composed of tribes, languages, and religions as well. Motto of Bhineka Tunggal Ika shows the diversity characteristic of the Indonesian nation is precisely because of that difference, then Indonesia is one, and one for Indonesia (Mattulada, 1985). Principle of pluralism and multicultural inside Unity in Diversity is described below:

Fig. 1. Concept of Bhineka Tunggal Ika


Education to about the meaning and implementation of Bhineka Tunggal Ika is a mandatory. With the concept of pluralism, the tolerance will remain intact. Dr. KH. Nuril Arifin, MBA explained the concept of Bhineka Tunggak Ika is the initial concept of birth of Pancasila that make Indonesia as a pluralistic country based on Pancasila than as an Islamic state. Examples can be found is a conflict in the Middle East, the Middle East as a Muslim-majority country and the ideology instead prolonged conflict. Why does this happen? Because he considered the concept of pluralism is a concept that is not quite right so that when capitalist coming over by all the way to get in, then the conflict will occur and the state could be destroyed because it is easily be played. Compared with Indonesia with the principles of pluralism, Gus Nuril explain it will be very difficult to break up Indonesia and physically attacked Indonesia because Indonesia is the principle of Bhineka Tunggal Ika and Pancasila.
The concept of peace and tolerance promoted by Bhineka Tunggal Ika is a reflection of the concept of each religion so that it becomes a very powerful ideology. Many tribes, races, religions coexist peacefully in Indonesia, it is proving Bhineka Tunggal Ika is an ideal concept for Indonesia.
 What if there is a conflict ???
The resolution of the conflict based on the principle of Bhineka Tunggal Ika is becoming so important, we can learn how Bhineka Tunggal Ika is looking at a difference and plurality. Conflict resolutions based on Galtung (2000) Consist of three steps: peacekeeping, peacemaking, and peacebuilding. Conflict resolution of Bhineka Tunggal Ika is familial, the concept accommodates pluralistic, consensus becomes effective ways to resolve conflict.

Reference:
Johan Galtung and Carl G. Jacobsen. 2000. Searching for Peace: The Road to TRANSCEND. London: Pluto Press.
Mattulada. 1985. LATOA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Setiawan, C. et al. 2014. Toleransi dan Perkauman: Keberagaman dalam Perspektif Agama-Agama dn Etnis-Etnis. Perkumpulan Lentera Timur.


Wilodati. ____. Kesadaran Masyarakat Majemuk dan Kebhineka Tunggal Ikaa-an Kebudayaan di Indonesia. MKDU FPIPS UPI






This article is publish regarding the discussion before APUFY (Asia-Pacific Urban Youth Assembly) 2015 Jakarta on October, 17th-18th.



Please visit: apufy website