YSEALI: Persahabatan Bervisi Mie Instant

Young SouthEast Asian Leader Initiative Juorney.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Pembagian Potensi Perikanan Indonesia berdasarkan Region.

Romansa Negeri Sakura: Hakone Moutn Shizuoka Perfecture

AFS Intercultural Learning Japan - Kizuna Bond Project.

Pemetaan Mangrove di Sidoarjo dengan Citra Satelit Landsat

Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing.

Saturday, August 6, 2016

"Baper" dalam Beragama

"Baper" dalam Beragama
oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)


Baper dalam Beragama (?)

Fenomena perkembangan kecanggihan teknologi informatika dewasa ini memang telah membawa pengaruh besar dalam penyebaran informasi. Apapun informasinya bisa dengan mudah disebarkan dan diakses. Ada informasi yang sifatnya hoax ada pula informasi yang objektif. Informasi-informasi hoax yang muncul di media biasanya bernada fitnah, provokatif, dan beritanya terkesan mengada-ada atau cacat rasionalitas. Ada pula berita yang diracik secara apik dengan berbagai dalil yang seolah relevan, akantetapi sejatinya tidak demikian. Seringkali di balik itu semua ada kepentingan untuk memunculkan stigma yang berujung pada misi menguntungkan pihak tertentu.
Ada lagi model informasi yang lugu, dalam arti hanya berbasis luapan curahan hati atas peristiwa tertentu, atau dalam bahasa alay-nya informasi dari orang-orang "Baper". Gaya baper ini sering dijumpai dalam kasus-kasus kemasyarakatan yang berkaitan dengan agama. Seolah-olah sudah menjadi hukum alam bahwa kasus sosial-relijius memiliki derajat kebaperan (sensitivitas) tinggi. Seperti kasus-kasus kerusuhan dibeberapa tempat selama ini juga tidak lepas dari tingginya derajat kebaperan itu. Contoh kasus lain yang lebih nyata adalah seperti yang terjadi di bulan Ramadhan kemarin.Peristiwa pelarangan Ibu Sinta Nuriyah (istri Gus Dur) menghadiri undangan buka bersama di salah satu gereja di daerah semarang. Meskipun peristiwa itu dapat diselesaikan dengan cara memindah lokasi buka bersama, tetapi kesan sikap baper dalam beragama sangat kentara. Jelas, tidak ada hukum yang melarang seorang muslim berbuka puasa di mana pun. Terlebih di dalam negeri Pancasila yang berprinsip Bhineka Tunggal Ika, itu merupakan fenomena kerukunan antar umat beragama yang meneduhkan. Hanya orang-orang "baper" dalam beragama yang menolak. Alasan mencampur aduk agama, menghianati keyakinan, ataupun menimbulkan kekafiran, jelas tidak tepat. Antara Islam dan Kristen sudah jelas perbedaannya. Bukan berarti seorang Islam masuk gereja menjadi kristen, begitu juga sebaliknya. Urusan iman adalah urusan hati. Sama halnya orang ziarah kubur, bukan berarti mereka menyembah kuburan.Tuduhan ziarah kubur syirik hanya berdasar pada ketakutan orang-orang yang sok paling beriman. Alih-alih berhati-hati malah terjerumus dalam kebaperan. Padahal syirik atau tidak tergantung pada niyatan.
Informasi yang dibuat dari sikap baper dalam beragama ini perlu selalu diwaspadai. Bagaimanapun hal tersebut bisa memunculkan fitnah, karena pemunculannya tidak berdasarkan pertimbangan pikiran yang jernih (tawazun) dan sesuai. Untuk itu, penting bagi para pelajar belajar dua hal. Pertama, belajar cara menganalisis informasi sampai menemukan apa sebenarnya maksud dari informan. Kedua, saat membuat informasi harus berdasarkan ilmu (pikiran yang jernih) bukan emosi semata. Apabila kemampuan ini dimiliki para pelajar, maka mereka akan panjang akal, tidak mudah baper dan tidak mudah terombang-ambing dengan isu yang tidak jelas.
Model baperan dalam beragama ini wujudnya bermacam-macam. Umumnya, ada yang bernada melo ada pula yang langsung frontal, keras dan "ngamukan". Model yang pertama dapat dimaklumi, sedangkan model kedua hanya memunculkan teror dan kekerasan. Seperti halnya kemarin, ketika salah satu fakultas dari perguruan tinggi di Tulungagung berencana mendatangkan tokoh Syi'ah kemudian juga dari kelompok Islam Liberal, tanpa ada proses tabayyun, langsung muncul respons berupa teror-teror yang tidak jelas. Hingga akhirnya stigma tentang fakultas itu antek Syi'ah dan JIL bermunculan. Padahal tidak demikian. Stigma itu jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab hanya muncul dari sikap baperan beberapa pihak saja. Tidak berdasar pada fakta-fakta objektif. Bahwa suatu fakultas mendatangkan pihak manapun itu wajar, karena memang fungsinya sebagai penyubur kajian ilmiah yang memandang segala sesuatu dengan ilmu, bukan dengan emosi.
Pada konteks ini, sangat tepat mengutib apa yang didawuhkan oleh para guru ngaji di desa-desa, 
"Dadi uwong ojo gampang kagetan, ojo gampang gumunan, ojo gampang nesuan, lan ojo gampang demenan". 
Kalau boleh diungkapkan dengan bahasa yang lebih kekinian dan sederhana itu sama dengan, "Dadi uwong ojo gampang 'baperan". Artinya, setiap orang seharusnya menjaga keseimbangan emosi diri, bersikap tenang, sehingga ketika berprilaku yang muncul adalah prilakunya sebagai manusia, tidak buas seperti hewan atau terlalu lembek seperti tumbuhan. Ketika manusia benar-benar menjadi manusia, maka prilakunya akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan setiap langkahnya hanya demi kemaslahatan. Jikapun ia menebar informasi, tidak akan menimbulkan fitnah-fitnah sampah yang meracuni pikiran manusia lain.
Wallahu a'lam...

Buah Cinta dari Arena Keadilan dalam Konsep Ukhuwah NU

Buah Cinta dari Arena Keadilan dalam Konsep Ukhuwah NU
oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)


Ukhuwah dalam Bernegara

Masih saja terngiang di telinga alunan lagu religi dari grup legendaris Nasidaria yang "diputer" nyaring di acara halal bi halal Keluarga Besar MWC NU Kalidawir kemarin. Nadanya hafal, cuman lirik yang tepat bagaimana lupa. Pada intinya, lagu itu bercerita tentang seorang anak yang melanggar aturan, kemudian oleh ayahnya tetap diberi hukuman meskipun sang ibu terus saja membela.
Lagu yang kedengaran sederhana. Namun justru dari kesederhanaan itu terdapat hal luarbiasa. Nadanya khas dan tepat. Liriknya padat dan syarat akan makna.
Keadilan memang terkadang memaksa. Tentu bukan perkara mudah bagi seorang ayah menghukum anak sendiri setelah tahu anak itu bersalah. Setidaknya mesti terjadi dilema dalam batin antara rasa kasih sayang dengan tuntutan seorang pendidik yang harus mengajarkan dan menegakkan keadilan. Terlebih --bagi seorang Muslim-- dikuatkan oleh salah satu riwayat hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah menegaskan bahwa:

"jika pun yang melanggar aturan adalah Siti Fatimah, anak tersayang, saya tetap akan menjatuhkan hukuman yang semestinya".

Berpijak pda cerita dan hadis di atas mari dibawa untuk meneropong perkara yang lebih besar. Misalkan terjadi perseteruan antar kelompok tertentu. Taruhlah, kelompok tersebut antara Muslim dan non-Muslim. Apabila terjadi kasus seperti ini, kecenderungan hati yang sekelompok (seagama) Islam pasti akan membela Muslim, meskipun belum tahu para Muslimin berada di kubu yang salah atau yang benar. Padahal bisa jadi yang menyalahi terlebih dahulu justru adalah kelompok Muslim. Namun, karena dalam mind set orang Islam sudah tertanam bahwa Islam agama yang paling benar dan antara muslim satu dengan yang lain bersaudara menjadikannya "baper" dan "kesusu" membela kelompok Muslim. Padahal jelas beda antara Islam dengan sekelompok orang beragama Islam (muslim). Islam memang tidak mengajarkan kejahatan, kesalahan, ataupun kesesatan. Akan tetapi, sekelompok orang Islam tentu sangat bisa melakukan kesalahan. Dari sinilah perlu kejelian dalam memandang prilaku perseorangan atau kelompok. Jangan sampai hanya karena ikatan batin atau ikatan institusi maupun organisasi menjadikan "baper" dan tidak adil dalam pembelaan.
Berangkat dari kasus semacam itu, penting bagi kita memahami kebijakan ulama NU tentang maksud dari adanya empat ukhuwah: ukhuwah nahdliyah, ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Untuk ukhuwah nahdliyah dan islamiyah, sepertinya sudah mafhum. Asal ketika terjadi percekcokan antara umat nahdliyin atau antar Islam sebagai kewajiban adalah mendamaikannya. Atau saat kita berseteru dengan kelompok Islam lain, jangan sampai melupakan bahwa mereka juga saudara kita. Sebagai contoh relevan salahsatunya adalah dawuh dari KH. Maimun Zubair kepada umat Islam khususnya kaum Nahdliyin untuk tidak membenci HTI meski keduanya berideologi berbeda. HTI memang tidak sama dengan NU. Akantetapi, bagaimanapun mereka adalah saudara seiman. Tugas kita untuk menjelaskan kepada mereka utamanya tentang pentingnya ideologi Pancasila dan NKRI demi kemaslahatan daripada ideologi Khilafah.
Kemudian, terkait ukhuwah wathaniyah kurang lebih sama. Siapa saja meski berbeda agama, suku, ras, budaya dan sebagainya asalkan dia adalah orang Indonesia berarti kita bersaudara. Di masa lalu dalam kisah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa ini mudah ditemukan bagaimana bentuk ukhuwah wathaniyah. Terkadang sejarah perjuangan kemerdekaan bisa membuat orang terbelalak, karena kelompok yang sekarang sering disesatkan sehingga tersisih, dulu berada dalam satu perjuangan dalam bingkai ukhuwah wathaniyah. Sejarah kecil tentang hubungan akrab antara KH. A. Wahid Hasyim dengan Ahmad Djoyo Soegito dan juga Tan Malaka bisa dijadikan cerminan. Tiga tokoh ini adalah para founding fathers NKRI. Mereka tidak pernah bermusuhan meski berangkat dari latarbelakang ideologi dan keagamaan yang berbeda. KH. A. Wahid Hasyim dari NU, Ahmad Djoyo Soegito dari Ahmadiyah, sedangkan Tan Malaka daru kubu kiri (kominis), sering berdiskusi dalam mendirikan bangsa ini tanpa menuduh sesat atau kafir satu sama lain. Maka dari itu dari sudut pandang ukhuwah wathaniyah, ironis bila kelompok Ahmadiyah secara politis disisihkan eksistensinya dari bangsa ini, dengan label kafir sesat dan sebagainya.
Contoh yang lebih elegan tentang ukhuwah wathaniyah adalah sebagaimana yang telah di praktikkan oleh Gus Dur. Saat beliau menjabat sebagai Presiden, berusaha dilengserkan oleh beberapa pihak. Bahkan termasuk tokoh utamanya adalah orang yang mengusungnya menjadi presiden, yakni Amin Rais. Sebagai ketua MPR, Pak Amin waktu itu menjalin settingan dengan Ibu Megawati selaku Wakil Presiden untuk melengserkan tahta Gus Dur dengan berbagai cara, (Dalam bahasa Rizal Mumaziq ini sama dengan "kudeta halus"). Hingga akhirnya Gus Dur berhasil dilengserkan. Pada waktu itu suhu sosial-politik bangsa ini sempat memanas. Para pendukung Gus Dur, termasuk yang terbesar masyarakat Nahdliyin, sudah bersiap untuk melawan "kudeta halus" tersebut. Namun, apa yang terjadi. Gus Dur dengan santai menerima pemakzulan itu. Beliau keluar dari istana dengan menanggalkan seluruh atribut kepresidenannya, mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Begitu tenang Gus Dur menyuruh semua kalangan yang menuntut untuk pulang, dan tidak perlu ada bentrok satu sama lain. Ketika ditanya tentang mengapa Gus Dur melakukan itu semua, Beliau menjawab bahwa beliau tidak mau terjadi pertumpahan darah antar saudara sebangsa. Beliau pun juga menegaskan tentang prinsipnya bahwa, "tidak ada jabatan di dunia ini yang patut untuk dipertahankan".
Itulah Gus Dur. Beliau bukan sosok yang haus kekuasaan. Dapat dibayangkan, apabila Gus Dur tidak mau lengser, pasti kisruh politik dan sosial di negeri ini terjadi. Kemauan Gus Dur untuk lengser tersebut, tentu disebabkan keluasan pemikiran beliau sehingga mewujud juga pada kelapangandadaanya. Beliau tidak hanya memiliki jiwa ukhuwah Nahdliyah atau Islamiyah saja. Andai hanya dua ukhuwah itu yang berada di jiwa Gus Dur, tentu beliau akan mempertahankan kekuasaan, sebab umat nahdliyin sebagai kekuatan "Muslim mayority" baik yang struktural maupun kultural banyak yang setia dan fanatik mendukung. Coba dibayangkan lagi, apabila Gus Dur berideologi kaku, misalnya berideologi khilafah dan meyakini hanya sistem khilafah yang benar selain itu salah, maka tentu Gus Dur pada saat pemakzulan akan teriak "takbir", tidak terima dan menyuruh para pengikutnya melawan dengan dalih kebenaran 'mutlak' politik khilafah. Namun tidak begitu. Bapak bangsa ini tidak mungkin tega membenturkan rakyat satu sama lain. Bapak bangsa ini tidak hanya mengenal persaudaraan sesama NU saja atau sesama Islam saja. Melampaui keduanya, beliau mengajarkan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tentang persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah. Perdamaian dan kerukunan dibawah naungan bangsa lebih utama daripada sekadar mempertahankan kekuasaan. Inilah termasuk bentuk politik kebangsaan yang juga menjadi watak politik NU semenjak lama.
Satu lagi ukhuwah yang lebih universal adalah ukhuwah basyariyah. Bentuk persaudaraan yang terjalin dari persamaan bahwa antara aku, kamu, dan dia sama-sama manusia. Atau dalam bahasa agama digunakan istilah: sama-sama makhluk Allah. Ukhuwah ini sifatnya "telanjang", dalam arti lepas dari berbagai atribut identitas seperti kelompok, bangsa, agama, usia, profesi, dan sebagainya. Atau dalam bahasa kerennya, Islam yang memiliki kesadadaran ukhuwah basyariyah adalah "Islam Kosmopolitan", yang menyatakan dirinya sebagai warga negara dunia, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan menolak adanya diskriminasi antar manusia. Inilah yang juga menjadi karakter NU.
Ukhuwah yang "telanjang" ini secara sederhana dapat dicontohkan dengan kasus tabrak lari di jalan. Melihat kejadian tabrak lari, bagi orang yang memiliki kesadaran ukhuwah basyariyah, sekonyong-konyong langsung menolong saja tidak perlu menghiraukan identitas apa pun yang dimiliki si korban. Tidak juga repot bertanya tentang agamanya apa, negaranya mana, sekolah di mana, korban musuh atau teman, dan sebagainya. Ia melakukan itu atas dasar kesadaran kemanusiaan, bukan yang lain.
Dengan empat model ukhuwah itulah NU menjadi mampu mengayomi masyarakat. Empat ukhuwah tersebut bukanlah berbentuk tingkatan, misalnya maqam ukhuwah basyariyah lebih tinggi daripada ukhuwah islamiyah. Tidak begitu. Ukhuwah-ukhuwah tersebut memiliki konteks masing-masing. Ukhuwah nahdliyah berlaku dalam.konteks Organisaai NU, Ukhuwah Islamiyah dalam konteks seagama Islam. Ukhuwah wathaniyah konteksnya adalah pada saat bernegara, sedangkan ukhuwah basyariyah konteksnya adalah berkaitan dengan kemanusiaan.
Dari adanya warna warni model ukhuwah ini, NU memiliki arena yang luas dalam jaminan untuk menegakkan keadilan. Jika benar-benar berpegang teguh pada empat ukhuwah ini, niscaya NU tidak akan terjebak dengan fanatisme buta. Setidaknya ini sudah terbukti dari berbagai contoh di atas.
Apabila dikaitkan dengan kasus besar antara kelompok muslim dan non-muslim seperti dikatakan di awal, maka kacamata yang lebih tepat digunakan adalah ukhuwah basyariyah. Akan tidak adil jika menggunakan ukhuwah Islamiyah, karena otomatis dengan ukhuwah ini jatuhnya fanatisme buta terhadap kelompok Islam dan selalu menyalahkan non-Islam.Bagaimanapun pembelaan harus kepada yang tidak bersalah, untuk itu sudut pandang basyariyah lah yang tepat bukan Islamiyah. Jika memang kelompok Islam salah harus diputus salah jika benar harus dibela. Jika pun kelompok Islam yang salah, tidak bisa begitu saja mengolok-olok dan membenci, dalam hal ini tetap berlaku ukhuwah Islamiyah. Pun ketika non-Islam yang bersalah, tidak bisa smena-mena memusuhinya, tetap saja mereka tersambung dengan ukhuwah basyariyah.
Pada intinya, prioritas dari berbagai bentuk ukhuwah ini tidak lain adalah perdamaian, disamping juga sebagai pembuka cakrawala keadilan yang lebih luas. Adapun yang menjadi dasar spirit adalah ketulusan cinta kepada sesama. Dari sini tiba-tiba muncul keyakinan dari penulis bahwa konsep-konsep ukhuwah itu tidak mungkin muncul kecuali dari sifat rahmat di benak orang yang menapaki realitas "nafsul muthmainnah". Mustahil kiranya jika konsep itu buah dari "nafsul amarah", yakni misalnya muncul dari pikiran orang-orang fanatik buta yang "gampang" marah dan menyalahkan pihak-pihak yang menurut pikiran sempitnya salah.
Sebagai pelajar NU sangat baik belajar prinsip ini. Setidaknya supaya tidak "kaget" ketika melihat Banser turut menjadi petugas keamanan Gereja. Biar tidak "nggumun" ketika ada Kiyai ceramah di tempat ibadah non muslim. Biar tidak protes ketika ada Kiyai, Ibu Nyai ataupun santri diundang buka bersama di tempat ibadah non muslim. Juga biar tidak "buruk sangka", ketika satu setengah tahun lalu ada warung bernama Top Santri, Kalidawir di datangi tamu dari saudara Hindu dan Kaum Penghayat untuk berdiskusi. Dengan mengetahui model-model ukhuwah, setidaknya bisa menempatkan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan pada konteksnya. Ingat, tidak perlu baper.
Terahir, sebagai penutup tulisan ini, mari mencari berkah dari tokoh utama pencetus dan tauladan baik dari ukhuwah-ukhuwah tersebut, yakni KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Abdurrahman Wahid, lahumal fatihah...
Wallahu a'lam..

Friday, August 5, 2016

"Wrong Number" dalam Politik Praktis

"Wrong Number" dalam Politik Praktis

oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)

Money Politik dalam Demokrasi Indonesia

Anggap saja saat ini kita sedang duduk bersama, sambil ngopi, kalau perlu sembari membuka "slepi", nglinting rokok. Bagi yang putri membuka, "klonthang" untuk nginang. Kita mencoba menjadi manusia Jawa di masa lalu; senang "jagongan", "gojegan", dan sesekali membahas perkara-perkara rumit supaya terurai kejelasannya, sehingga menemukan solusi bijak atasnya.
Topik politik sepertinya menarik untuk mengisi waktu luang ini. Ya, Meski kita bukan trah ksatria, biar saja. Negeri ini sudah demokrasi. Sudra pun bebas bicara. "Petruk" pun bisa jadi Ratu. Mari berfikir!, mumpung dilindungi hak asasi manusia.
Di tahun 90 an, di sekitar kita, peristiwa politik sering kali berbuntut pada perpecahan di masyarakat. Memang pada dasarnya dalam kultur Jawa, rasa "peseduluran" tinggi. Akan tetapi, entahlah faktanya sebab politik tiba-tiba hilang mood saling sapa, sebab berbeda pilihan politik saudara jadi musuh, bahkan sampai memecah kerukunan fanatis dalam beragama. Sering kan, mendengar istilah, "Saben Lurahe anyar, muncul langgar anyar." Nah, ini kan kalimat keren. Kesannya hiperbolis, tetapi memang pernah terjadi. Betapa ampuhnya pilihan politik, hingga mampu mementahkan pandangan batin "peseduluran". Sampai-sampai, dalam taraf tertentu melebihi peristiwa rebutan warisan.
Jika diukur dari kepentingan pragmatik, apa sih yang didapatkan masyarakat, sehingga harus repot-repot berpecah-belah? nyaris tidak ada untungnya. Justru pihak yang beruntung adalah calon yang menang dalam pertarungan politik itu. Ia sudah "nangkring" di posisinya, tinggal memetik buah-buah matang dari tangkringan itu. "Ah, jadi merasa dibodohin." Begitu lama-lama masyarakat merasa. Dan sekarang mereka sudah tidak begitu "srek" lagi dengan fanatisme berpolitik. Mereka berubah haluan menjadi prakmatik tingkat tinggi. Wujudnya tidak lain adalah ungkapan, "Sopo sing (menehi) duite akeh, yo kui sing dipilih". Tetap saja ngeri.
Segelintir fenomena politik praktis. Uang, pembunuhan, sabotase, fitnah, pencitraan, provokasi, adalah unsur-unsur yang menyelimuti. Banyak sejarah mencatat itu. Entah dalam konsep negara monarki, demokrasi, maupun khilafah yang begitu berani mengatasnamakan konsep negara Tuhan itu, sama saja. Kotor kah? memang iya. Apalagi dari sudut pandang agama, kotor sekali. Namun, betapapun begitu politik praktis adalah niscaya. Walaupun kesannya dekat sekali dengan yang kotor-kotor, bukan berarti orang baik harus anti politik. Semua ada konteksnya. Seperti ungkapan Pak Mahfud MD ketika membedakan peran antara politikus dan ilmuwan, "politikus boleh bohong tetapi tidak boleh salah, sedangkan ilmuwan boleh salah tetapi tidak boleh bohong".
Pernyataan Pak Mahfud MD, sangat masuk akal. Bagaimanapun politik adalah tempat bertemunya ambisi kekuasaan, baik pribadi maupun kelompok. Pertarungan nilai hitam, putih, maupun abu-abu ada di situ. Si hitam dalam berpolitik tentu tidak akan menggunakan cara putih. Bahkan Si Putih tidak mungkin menggunakan cara-cara lugunya sendiri. Kalau lugu, "lempeng-lempeng" saja, jujur-jujuran, ia pasti ditelikung sama kelicikan Hitam. Setidaknya ia menjadi abu-abu sedangkan tujuannya tetap putih. Jika ditanya, mengapa si putih jadi demikian? jawabnya mudah saja. Ambisi kekusaan ibarat seorang yang sedang dimabuk cinta. Ia akan selalu menampakkan citra baik kepada Si Doi. Ketika Doi bertanya, "Beb, sudah solat subuh belum?", ia akan menjawab, "Sudah Cin", meski sebenarnya baru bangun tidur pukul 06:30. Nah ini perbandingannya, orang mabuk cinta untuk memenangkan hati satu orang saja terjebak dalam kebohongan apalagi orang ingin mendapat kekuasaan dan menakhlukkan hati orang banyak? Bohong menjadi perkara yang maklum dalam politik. Dengan demikian seharusnya yang dilihat bukan kebohongannya, tetapi tujuannya.
Kelumit kelit dalam politik ini lah yang sering menggiring ora menjadi disorientatif, atau dalam bahasa telekomunikasinya "wrong number" (salah sambung). Antara prilaku atau usaha dan tujuan luhur tidak sambung.
Perpecahan yang terjadi di masyarakat sebagaimana diungkapkan di awal tadi, yakin, bukan kok karena semata-mata beda pilihan.Tetapi karena ada "embel-embel" dari perbedaan pilihan itu. Saat musim kampanye sampai pemilihan, di situ pasti ada ketegangan, wujudnya berupa fitnah, isu, syu'udzan, dan kecurangan, untuk mengalahkan lawan. !Embel-embel" ini lah yang sebenarnya membawa buntut panjang dalam kesruh politik. Sehingga nantinya muncul kelompok oposisi yang berlebihan. Dalam arti kritik yang diluncurkan bukan demi kemajuan bersama, tetapi untuk menumbangkan kekuasaan. Wujudnya biasanya seperti adanya penggembosan, penjigalan, fitnah berkelanjutan, kudeta dan sebagainya. Inilah oposisi yang "wrong number",
Disamping itu, bagi kelompok penguasa, sering kali terlalu asik melenggang di atas. Mereka berusaha sekuat mungkin melanggengkan posisinya dan lupa tujuan luhur bersama. Sehingga setiap kerjanya cuma mengarah pada pembangunan citra. Ini tentu juga "wrong number", yang tidak kalah berbahaya. Terlebih bila penguasa bertangan besi. Siapa tidak taat pasti disikat, maka disembelihlah kebebasan dan hak-hak kemanusiaan.
"Wrong number" juga terjadi pada orang yang tidak memahami perbedaan mana konteks politik, mana bukan. Seorang politikus kadang juga "ngawur", semua hal dipolitisir: teman dipolitisir, ormas dipolitisir, sekolah, jama'ah tahlil, ayat-ayat suci, bahkan Tuhan pun dipolitisir. Semua demi menggapai ambisi politiknya. Ketika menjadi oposisi, ia menebarkan kebencian juga memusuhi semua pihak yang berkoalisi. Kalau perlu bentroklah sekalian.
Padahal semestinya tidak begitu. Oposisi biarlah terjadi dalam politik saja, selain itu hubungan akrab persaudaraan dan pertemanan tetap dipertahankan. Dalam hal ini, lagi-lagi harus memunculkan Gus Dur, untuk menggambarkan teladan yang tepat (maklum lah, yang nulis kurang bacaan, taunya hanya Gus Dur). Semasa hidupnya, Gus Dur adalah seorang pengkritik rezim Orde Baru yang sangat vokal Beliau selalu memposisikan diri sebagai oposan dari Presiden Soeharto. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur sendiri di salah satu acara televisi suwasta bahwa beliau masih sering bersilaturahmi ke kediaman Soeharto, untuk menjalin persaudaraan. Bahkan beliau pun menganggap kabar adanya usaha pembunuhan yang direncanakan oleh Soeharto terhadap dirinya, hanya menyangkut perkara politik saja bukan perkara pribadi, sehingga tidak perlu membenci pribadi Soeharto. Disamping itu, Gus Dur juga menjelaskan bahwa terkait pilihan politik tidak usah disikapi secara kekanak-kanakan. Di zaman SBY, Gus Dur banyak mengkritik pemerintah, dan dalam waktu bersamaan salah satu dari putrinya justru sedang dekat dengan penguasa. Melihat hal itu, Gus Dur tidak ada masalah, tidak pula memarahi ataupun memusuhi putrinya tersebut. Beliau memberikan hak menentukan pilihan politik pada anaknya sendiri seluas-luasnya. Oposisi bisa terjadi dalam hal politik, tetapi dalam berkeluarga anak tetaplah disayangi sebagaimana mestinya. Dari sini dapat dibayangkan, andai saja setiap orang di Indonesia memiliki kedewasaan berpolitik seperti Gus Dur, maka tentu demokrasi akan berjalan dengan lebih sehat.
Wallahu a'lam.
Untuk itu, dalam memahami politik, perlu sekali menggunakan jurus "eling lan waspadha" supaya tidak terjerumus pada "wrong number". "Eling" kepada tujuan dan waspadha kepada siasat-siasat. Kita sebagai pelajar NU, ada baiknya belajar kepada para pendahulu NU yang sangat bijak dalam berpolitik. NU sendiri sebagai organisasi keagamaan sudah banyak berpengalaman dalam mengawal pemerintah. Dengan prinsip politik kebangsaannya NU mampu menjadi penyeimbang sekaligus pengontrol kerja pemerintah yang keterlaluan atau pun kurang baik. NU kapansaja bisa menjadi pengkritik dan dilain waktu bisa menjadi pembela pemerintah. Semua tergantung pada kebijakan pemerintah apakah itu adil serta maslahat atau tidak. Dapat dibayangkan juga, andai di negeri ini hanya ada kubu koalisi dan oposisi saja, tidak ada kekuatan semisal NU dan Muhamadiyah yang menengahinya, pastilah kisruh politik sering terjadi dan lebih mengerikan lagi.
Mungkin yang ditakutkan adalah, jika NU sendiri pecah. Bagaimanapun NU dari segi struktural memiliki dimensi politik tersendiri. Apabila dimensi politik ini, praktiknya sama dengan para politikus praktis yang "wrong number" itu, maka "ngalamat" muncul perpecahan. Namun syukurlah, gaya politik struktural NU masih diusahakan seperti yang diajarkan sesepuh terdahulu: menjunjung akhlakul karimah, toleransi dan tanggung jawab dunia-akhirat.Memang ada kerikil-kerikil kecil, tetapi itu wajar bagi dinamika organisasi.
Demikian pula dengan organisasi kita. IPNU dan IPPNU sebentar lagi melaksanakan hajat konferensi tingkat Pimpinan Cabang. Ini momen penting bagi kita semua, termasuk PAC Kalidawir untuk merumuskan IPNU dan IPPNU Tulungagung kedepan lebih baik. Seperti biasa, ujung dari konferensi adalah pemilihan ketua umum. Untuk itu, sebagai anggota IPNU-IPPNU PAC Kalidawir yang masih dibawah naungan PC IPNU-IPPNU Tulungagung, memiliki kewajiban berpartisipasi dalam acara tersebut. Baik dari unsur ranting maupun PAC, mulai sekarang bisa mempersiapkan diri agar bisa "urun rembug" dan bersuara di acara itu. Demi proses belajar kita dalam berorganisasi dan kebaikan IPNU-IPPNU Tulungagung ke depan.
Tidak kalah penting lagi, do'a juga selalu diperlukan: semoga kegiatan pesta demokrasi serta "politik kecil-kecilan" itu berjalan dengan lancar. Semoga dalam prosesnya yang kelit kelumit juga tidak membawa tujuan jatuh pada "wrong number",tetap "eling lan waspadha", berjalan dengan damai, manfaat serta maslahat. Aamiin... Aamiin..

Studi Dinamika Pantai Di Daerah Pantai Sidem Tulungagung, Jawa Timur

M. ANGGI WIBISONO. Studi Dinamika Pantai Di Daerah Pantai Sidem Tulungagung, Jawa Timur (dibawah bimbingan Nurin Hidayati, ST., M.Sc., dan Dhira Kurniawan Saputra, S.Kel., M.Sc.

Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan peralihan antara darat dan laut dan sering dimanfaatkan sebagai kawasan pemukiman, pelabuhan, pariwisata dan sebagainya, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah perubahan garis pantai, baik akresi maupun erosi. Erosi pantai yang merusak kawasan pemukiman dan prasarana kota yang berupa mundurnya garis pantai, sedimentasi sebagai akibat endapan pantai dan menyebabkan majunya garis atau pendangkalan muara sungai yang dapat menyebabkan tersumbatnya aliran sungai sehingga mengakibatkan banjir di daerah hulu, pencemaran lingkungan akibat limbah dari kawasan industri. 

Penelitian ini dilakukan di Pantai Sidem, Tulungagung, Jawa Timur yang bertujuan untuk (1) Mengetahui distribusi sedimen di Pantai Sidem, Tulungagung, (2) Mengetahui pola arus di Pantai Sidem, Tulungagung, (3) Mengetahui hubungan kecepatan arus dengan distribusi sedimen di Pantai Sidem Tulungagung, (4) Mengetahui perubahan garis pantai di Pantai Sidem, Tulungagung selama Tahun 2014, 2015, dan 2016 dan (5) Mengetahui dinamika pantai di Pantai Sidem Tulungagung. 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik. Pengambilan sampel sedimen dilakukan secara langsungdi Pantai Sidem Tulungagung di 12 titik yang tersebar pada 3 stasiun, selanjutnya di analisis di Laboratorium Teknik dan Pengairan untuk mendapatkan data ukuran butir sedimen sehingga dapat diketahui jenis sedimennya. Pengukuran arus bertujuan untuk mendapatkan data kecepatan dan arah arus. Pengukuran garis pantai dilakukan dengan cara download citra dari google earth pada Tahun 2010, 2014 dan 2015. Hasil penelitian ini adalah rata rata pasir yang ada di Pantai Sidem Tulungagung, Jawa Timur ini adalah jenis pasir sedang. Kecepatan arus relatif kencang antara 0.40– 2.00 m/s. Data ukuran butir sedimen dapat dihubungkan dengan data kecepatan arus untuk mendapatkan data perubahan garis pantai berupa erosi atau sedimentasi. Dinamika Pantai Sidem Tulungagung mengalami sedimentasi pada daerah tambak, muara sungai dan pemukiman.



NB: Untuk full papernya silahkan kontak langsung penulis/penerbit artikel (Paper tidak dipublikasikan secara luas)

Toksisitas Akut Logam Berat Hg Dan Pb Terhadap Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Sebagai Bioindikator Pencemaran

Ikan Kerapu Bebek
ABSTRAK

MUCH BAGUS KURNIAWAN. Toksisitas Akut Logam Berat Hg Dan Pb Terhadap Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Sebagai Bioindikator Pencemaran. (Dibawah bimbingan Defri Yona, S.Pi., M.Sc. Stud., D.Sc. dan Rarasrum Dyah Kasitowati, S.Kel., M.Si., M.Sc.)

Meningkatnya aktifitas antropogenik seperti industri dan pertambangan menyumbang masukan bahan pencemar seperti merkuri (Hg) dan timbal (Pb) yang terakumulasi dalam lingkungan laut. Kekhawatiran penurunan produktivitas ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) terjadi tidak hanya disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan, namun juga diakibatkan oleh pencemaran perairan laut di lingkungan habitat ikan kerapu bebek tersebut. Oleh karena itu, perlu diketahui kesesuaian ikan kerapu bebek sebagai bioindikator pencemaran logam berat karena kemampuan logam berat yang dapat mengakibatkan efek lethal.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Pebruari s/d Maret 2016 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengukur toksisitas dan mengetahui tingkat toksisitas logam berat Hg dan Pb terhadap ikan kerapu bebek serta menganalisa kesesuaian ikan kerapu bebek sebagai bioindikator pencemaran.

Uji toksisitas akut dimulai dengan uji pendahuluan dengan 5 konsentrasi logam berat yang berbeda yang menghasilkan range finding test yaitu 0,1 ppm hingga 1 ppm untuk Hg dan 0,1 ppm hingga 100 ppm untuk Pb. Selanjutnya, dilakukan uji definitif dengan 8 konsentrasi yang berbeda pada masing-masing logam berat untuk menghasilkan data mortalitas. Kedua logam berat memberikan pengaruh sangat nyata terhadap mortalitas ikan kerapu bebek dengan nilai Sig. < 0,05. Analisis Probit dilakukan untuk mendapatkan nilai LC50(50% Lethal Concentration) dengan mencari persamaan regresi sehingga didapaatkan nilai LC50 Hg sebesar 0,417 ± 0,0132 ppm dan LC50 Pb sebesar 7,02 ± 0,496 ppm.
Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini yaitu toksisitas Hg dan Pb jika dilihat dari LC50 yang bernilai.

Kata kunci : ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis), merkuri (Hg), timbal (Pb), toksisitas akut, bioindikator

NB: Untuk full papernya silahkan kontak langsung penulis/penerbit artikel (Paper tidak dipublikasikan secara luas)

ABSTRACT

MUCH BAGUS KURNIAWAN. Acute toxicity of Hydrargyrum and Plumbum to Humpback Grouper (Cromileptes altivelis) and Its Suitability to Serve as Bioindicator Spesies for Waters Pollution. (Guidanced by Defri Yona S.Pi., M.Sc. Stud., D.Sc. dan Rarasrum Dyah Kasitowati, S.Kel., M.Si., M.Sc.)

The increasing of anthropogenic activity like industrial and anchorage sector contibute to pollution input like mercury (Hg) and lead (Pb) which acumulated in marine environment. A frightened of humpback grouper productivity decrease not only occurred by an over fishing but also occurred by waters pollution especially in its habitat. Thus, we have to know the suitability of humpback grouper as a bioindicator spesies for heavy metal pollution because of heavy metal lethal effect.

This research conducted in February until March, 2016 at Fish and Environmental Health Laboratory of Brackish Water Aquaculture Centre Situbondo, East Java. The purpose of this research are measuring and understanding toxicity level of Hg and Pb to humpback grouper and analyzing the suitablitiy of humpback grouper as bioindicator spesies of Hg and Pb pollution in the water.

Acute toxicity test begin with introduction test with five differences concentration of Pb and Hg and the results found the range finding test were 0,1 ppm to 1 ppm for Hg and 0,1 ppm to 100 ppm to Pb. The definitive test conducted with eight differences concentration based on of Pb and Hg range finding test from the introduction test and the result is mortality of humpback grouper. The influence of Hg and Pb to humpback grouper mortality in definitive test sign that is very significance with Sig. value < 0,05. While, probit analysis were analyzed to get regresion equation and give LC50(50% Lethal Concentration) value is 0,417 ± 0,0132 ppm for Hg and 7,02 ± 0,496 ppm for Pb.

This research concludes that the toxicity level of Hg and Pb to humpback grouper (Cromileptes altivelis) was categorized in very toxic level with the Hg toxicity is higher than Pb. Based on Environmental Protection Agency, the humpback grouper is not suitable for Hg ang Pb pollution indicator, although the heavy metals was categorized in very toxic level.

Keyword : humpback grouper (Cromileptes altivelis), hydrargyrum (Hg), plumbum (Pb), acute toxicity, bioindicator

NB: To get full paper, please contact the writer or publisher directly. The paper isn't published widely.