YSEALI: Persahabatan Bervisi Mie Instant

Young SouthEast Asian Leader Initiative Juorney.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Pembagian Potensi Perikanan Indonesia berdasarkan Region.

Romansa Negeri Sakura: Hakone Moutn Shizuoka Perfecture

AFS Intercultural Learning Japan - Kizuna Bond Project.

Pemetaan Mangrove di Sidoarjo dengan Citra Satelit Landsat

Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing.

Wednesday, March 4, 2015

ILLEGAL FISHING UDANG YANG TERJADI DI PERAIRAN LAUT ARAFURA DARI TAHUN 2001-2013


Berita menghebohkan terdengar pada tahun 2014 dimana Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia melakukan pengeboman beberapa kapal asing yang melanggar aturan dengan melakukan illegal fishing. Beberapa kapal nelayan asing dibom dan ditenggelamkan dan awak kapal di jatuhi hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada dasarnya, illegal fishing adalah masalah klasik namun baru akhir-akhir ini ditindak dengan tegas. Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki potensi sumber daya hayati yang luar biasa. Sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 6.167.940 ton per tahunya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Detik, 2009).
Sofwan (2014) mengatakan persoalan illegal fishing di Indonesia mengakibatkan potensi yang ada tidak bisa optimal. Kerugian secara ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sangat fantastis yiatu mencapai 30 Trilyun dalam satu tahun. Handoko  (2004) dalam Nikijuluw (2008) juga mengatakan jumlah devisa yang hilang akibat illegal fishing mencapai $1,9 miliyar atau setara dengan 19 Triliyun  Rupiah setiap tahunya. Selain sektor ekonomi yang dirugikan ada beberapa sektor lain yang dirugikan yaitu sektor ekologi dan sosial.
Illegal Fishing di Laut Arafuru
Studi kasus yang lebih mendalam adalah Laut Arafura. Laut Arafura merupakan daerah penangkapan udang dan ikan terbesar dan terbaik yang dimiliki Indonesia. Perikanan laut Indonesia yang masih menganut rezim open access memungkinkan armada penangkapan dari luar kawasan beroperasi secara bebas di Laut Arafura. Perusahaan perikanan dari beberapa wilayah yang berbatasan dengan area ini bahkan perusahaan asing berupaya mengembangkan perikanan tangkap dengan berbagai upaya dan telah mengakibatkan tekanan penangkapan meningkat secara tajam. Menurut Rahardjo (2013), ada beberapa masalah serius yang terjadi pada perikanan Laut Arafura diantaranya:
1.      Intensitas illegal fishing yang saat ini terus meningkat
2.      Dampak masuknya pukat ikan (fish net) dan armada baru pukat udang diduga telah meningkatkan tekanan penangkapan secara tajam, terutama terhadap komoditas ikan demersal dan udang di Laut Arafura.
3.      Kerusakan habitat ikan yang disebabkan penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
4.         Keinginan daerah untuk mengembangkan perikanan tangkap pada berbagai skala usaha dan kewenangannya perizinan untuk kapal berukuran < 30 GT telah menyebabkan kapasitas penangkapan yang tidak terkendali.
Tekanan penangkapan yang tak terkendali dan tidak ramah lingkungan (illegal) serta perubahan kondisi oseanografis Laut Arafura akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, jumlah jenis, penyebaran, ruaya dan jumlah populasi sumberdaya ikan.
Pada dasarnya, Laut Arafura memberikan potensi yang sangat besar. Tercatat menurut Naamin (1987), Laut Arafura telah menjadi tempat penangkapan udang sejak zaman Jepang. Sejak tahun 1984 tingkat pengusahaan udang menunjukan kecenderungan yang tinggi dengan memberikan kontribusi 30% dari total nilai ekspor udang Indonesia. Naamin dan Sumiono (1983), menyebutkan banyaknya HTS di Laut Arafura diperkirakan mencapai 80% dari hasil tangkapan keseluruhan atau rata-rata 19 kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Selanjutnya Widodo (1997) mengemukakan bahwa produksi HTS di Perairan Arafura diperkirakan antara 40.000-70.000 ton setiap tahunnya.







 Rahardjo (2013) mengungkapkan data penangkapan udang di Laut Arafura dalam kurun waktu dari 1974-1996 disajikan dalam tabel berikut:

Tabel menyajikan data, tren hasil tangkapan pertarikan perhari mengalami penurunan dari 95 kg, 68 kg, 67 kg, 40 kg, 38 kg. Hal ini bisa terjadi karena terjadinya illegal fishing dan over fishing yang menyebabkan penangkapan melebihi kapasitas.

Nilai Kerugian Indonesia Akibat illegal fishing di Laut Arafura
Rahardjo (2013) menyebutkan data hasil pemantauan menggunakan Satelit Radarsat, jumlah kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura rata-rata mencapai 12.120 kapal setiap tahun dengan jumlah total 14.451.840 GT (Gross Tonage). Contoh hasil peta sebaran kapal di Laut Arafura adalah sebagai gambar berikut:

Analisis data Radarsat menunjukan banyak kapal berukuran GT besar yang tidak sesuai izin operasi kapal ikan di Laut Arafura dan kemungkinan besar ini adalah illegal fishing. Jumlah kapal illegal fishing melalui hasil pemantauan Radarsat di Laut Arafura mencapai 8.484 kapal/tahun. Kalkulasi nilai kerugian Indonesia akibat illegal fishing di Laut Arafura setiap tahun adalah sebagai berikut:
Jumah kapal Illegal = 8.484 kapal
Jumlah Gross Tonage = 10.116.288 GT
Ekuivalen berat ikan = 2.023.258,6 Ton = 2.023.258.600 Kg
Jika harga ikan per kg = US$ 2,00 maka,
Total Kerugian/tahun = 2.023.258.600 Kg X US$ 2,00 = US$ 4.046.515.200,00
Kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura setiap tahun mencapai 4 milyar US$ atau 40 triliun rupiah (Kurs Rp 10.000,00/Dolar US), nilai ini jauh lebih besar dari informasi yang diberitakan oleh Republika OnLine (Sabtu, 23 Nopember 2013) yang hanya menyebutkan 11, 8 triliun rupiah. Jika dihitung kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura sejak tahun.

Undang-Undang
Sudah seharusnya pemerintah beserta kita semua menjaga potensi sumberdaya alam yang kita miliki. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur penggunaan prinsip otonomi. Seiring dengan prinsip tersebut pemerintah daerah harus bisa menjaga dan mengawasi hasil kekayaan daerah dan digunakan untuk kepentingan daerah serta kemakmuran rakyat termasuk kekayaan bawah laut Indonesia.
Menurut Setyadi (2014) Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di ZEE Indonesia. Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum asing untuk masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasi serta mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE Indonesia.
Selanjutnya UU No. 31 2004 diubah menjadi UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan dan peraturan perundangan lainya yang masih berlaku. Penangkapan ikan secara illegal sudah jelas melanggal Undang-Undang tersebut. Negara berhak menuntut dan melaksanakan hokum yang berlalu (Pratomo, 2014).

Penanganan Illegal Fishing
Sejauh ini, upaya Indonesia dalam menangani masalah penangkapan illegal adalah dengan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan KEP/50/MEN/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan IUU (illegal, unreported, unregulated) Fishing. Keputusan ini merupakan bentuk dari the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang telah disepakati bersama tahun 1995 oleh negara-negara anggota FAO (Food and Agriculture) tentang pengelolaan dan pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung jawab, dan berkelanjutan serta sebagai berntuk implementasi aksi internasional.
Selanjutnya ketegasan aturan dalam pelaksanaanya sangat diperlukan. Pemerintah sudah menetapkan kerjasama Internasional RFMO (Regional Fisheries Management Organization). RFMO adalah kerjasama antar negara (regional cooperation) untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan Highly Migratory Fish Stocks dan Straddling Fish Stocks, guna menjamin pemanfaatan sumber daya tuna secara berkelanjutan.
Tindakan secara konsitusional sudah diatur tinggal penerapanya, regulasi yang diatur sudah sangat tegas. Selain jalur konstitusional, tindakan dalam menangani masalah illgal fishing dengan meningkatkan tingkat pengawasan di perairan.

DAFTAR PUSTAKA

Detik. 2009. Illegal Fishing Kejahatan Tradisional yang Dilupakan. (http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-transnasionalyang-dilupakan) , diakses pada tanggal 22 Februari 2015 pukul 21.00 WIB.
Handoko, Hani. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Naamin, N., 1987. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 42. Balitkanlut, Jakarta: 15-24.
Pratomo, Wiliater. 2014. Tinjauan Kriminologis terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Rahardjo, Priyanto. 2013. Analisa Nilai Kerugian Akibat Illegal Fishing di Laut Arafura Tahun 2001-2013. (www.octopuss.org). Diakses pada 25 Februari 2015 pukul 21.07 WIB.
Setyadi, Ignatius. 2014. Upaya Negara Indonesia dalam Menangani Masalah Illegal Fishing di Zona Ekomomi Ekslusif. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Sofwan, Muhammad. 2014. Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Illegal Fishing (Studi Kasus Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2012). Riau: Universitas Riau.
Sumiono,B. 1982. Survai udang dengan KM Binama VIII di perairan Arafura, September 1982. Laporan Survai BPPL: 12 hal.
Widodo, 1997. Laporan survai pengamatan sumberdaya perikanan demersal menggunakan KM Bawal Putih II di perairan Kawasan Timur Indonesia (Nopember 1995-April 1996). Semarang: BPPI.