Saturday, August 6, 2016

"Baper" dalam Beragama

"Baper" dalam Beragama
oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)


Baper dalam Beragama (?)

Fenomena perkembangan kecanggihan teknologi informatika dewasa ini memang telah membawa pengaruh besar dalam penyebaran informasi. Apapun informasinya bisa dengan mudah disebarkan dan diakses. Ada informasi yang sifatnya hoax ada pula informasi yang objektif. Informasi-informasi hoax yang muncul di media biasanya bernada fitnah, provokatif, dan beritanya terkesan mengada-ada atau cacat rasionalitas. Ada pula berita yang diracik secara apik dengan berbagai dalil yang seolah relevan, akantetapi sejatinya tidak demikian. Seringkali di balik itu semua ada kepentingan untuk memunculkan stigma yang berujung pada misi menguntungkan pihak tertentu.
Ada lagi model informasi yang lugu, dalam arti hanya berbasis luapan curahan hati atas peristiwa tertentu, atau dalam bahasa alay-nya informasi dari orang-orang "Baper". Gaya baper ini sering dijumpai dalam kasus-kasus kemasyarakatan yang berkaitan dengan agama. Seolah-olah sudah menjadi hukum alam bahwa kasus sosial-relijius memiliki derajat kebaperan (sensitivitas) tinggi. Seperti kasus-kasus kerusuhan dibeberapa tempat selama ini juga tidak lepas dari tingginya derajat kebaperan itu. Contoh kasus lain yang lebih nyata adalah seperti yang terjadi di bulan Ramadhan kemarin.Peristiwa pelarangan Ibu Sinta Nuriyah (istri Gus Dur) menghadiri undangan buka bersama di salah satu gereja di daerah semarang. Meskipun peristiwa itu dapat diselesaikan dengan cara memindah lokasi buka bersama, tetapi kesan sikap baper dalam beragama sangat kentara. Jelas, tidak ada hukum yang melarang seorang muslim berbuka puasa di mana pun. Terlebih di dalam negeri Pancasila yang berprinsip Bhineka Tunggal Ika, itu merupakan fenomena kerukunan antar umat beragama yang meneduhkan. Hanya orang-orang "baper" dalam beragama yang menolak. Alasan mencampur aduk agama, menghianati keyakinan, ataupun menimbulkan kekafiran, jelas tidak tepat. Antara Islam dan Kristen sudah jelas perbedaannya. Bukan berarti seorang Islam masuk gereja menjadi kristen, begitu juga sebaliknya. Urusan iman adalah urusan hati. Sama halnya orang ziarah kubur, bukan berarti mereka menyembah kuburan.Tuduhan ziarah kubur syirik hanya berdasar pada ketakutan orang-orang yang sok paling beriman. Alih-alih berhati-hati malah terjerumus dalam kebaperan. Padahal syirik atau tidak tergantung pada niyatan.
Informasi yang dibuat dari sikap baper dalam beragama ini perlu selalu diwaspadai. Bagaimanapun hal tersebut bisa memunculkan fitnah, karena pemunculannya tidak berdasarkan pertimbangan pikiran yang jernih (tawazun) dan sesuai. Untuk itu, penting bagi para pelajar belajar dua hal. Pertama, belajar cara menganalisis informasi sampai menemukan apa sebenarnya maksud dari informan. Kedua, saat membuat informasi harus berdasarkan ilmu (pikiran yang jernih) bukan emosi semata. Apabila kemampuan ini dimiliki para pelajar, maka mereka akan panjang akal, tidak mudah baper dan tidak mudah terombang-ambing dengan isu yang tidak jelas.
Model baperan dalam beragama ini wujudnya bermacam-macam. Umumnya, ada yang bernada melo ada pula yang langsung frontal, keras dan "ngamukan". Model yang pertama dapat dimaklumi, sedangkan model kedua hanya memunculkan teror dan kekerasan. Seperti halnya kemarin, ketika salah satu fakultas dari perguruan tinggi di Tulungagung berencana mendatangkan tokoh Syi'ah kemudian juga dari kelompok Islam Liberal, tanpa ada proses tabayyun, langsung muncul respons berupa teror-teror yang tidak jelas. Hingga akhirnya stigma tentang fakultas itu antek Syi'ah dan JIL bermunculan. Padahal tidak demikian. Stigma itu jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab hanya muncul dari sikap baperan beberapa pihak saja. Tidak berdasar pada fakta-fakta objektif. Bahwa suatu fakultas mendatangkan pihak manapun itu wajar, karena memang fungsinya sebagai penyubur kajian ilmiah yang memandang segala sesuatu dengan ilmu, bukan dengan emosi.
Pada konteks ini, sangat tepat mengutib apa yang didawuhkan oleh para guru ngaji di desa-desa, 
"Dadi uwong ojo gampang kagetan, ojo gampang gumunan, ojo gampang nesuan, lan ojo gampang demenan". 
Kalau boleh diungkapkan dengan bahasa yang lebih kekinian dan sederhana itu sama dengan, "Dadi uwong ojo gampang 'baperan". Artinya, setiap orang seharusnya menjaga keseimbangan emosi diri, bersikap tenang, sehingga ketika berprilaku yang muncul adalah prilakunya sebagai manusia, tidak buas seperti hewan atau terlalu lembek seperti tumbuhan. Ketika manusia benar-benar menjadi manusia, maka prilakunya akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan setiap langkahnya hanya demi kemaslahatan. Jikapun ia menebar informasi, tidak akan menimbulkan fitnah-fitnah sampah yang meracuni pikiran manusia lain.
Wallahu a'lam...

0 comments: