Berita menghebohkan
terdengar pada tahun 2014 dimana Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia
melakukan pengeboman beberapa kapal asing yang melanggar aturan dengan
melakukan illegal fishing. Beberapa kapal nelayan asing dibom dan
ditenggelamkan dan awak kapal di jatuhi hukuman sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pada dasarnya, illegal fishing adalah masalah klasik namun baru
akhir-akhir ini ditindak dengan tegas. Indonesia sebagai negara kepulauan dan
memiliki potensi sumber daya hayati yang luar biasa. Sumber perikanan laut
Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 6.167.940 ton per tahunya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak
di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia)
menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun
daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna,
sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat
Sumatera (Detik, 2009).
Sofwan
(2014) mengatakan persoalan illegal fishing
di Indonesia mengakibatkan potensi yang ada tidak bisa optimal. Kerugian secara
ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sangat fantastis yiatu mencapai 30 Trilyun
dalam satu tahun. Handoko (2004) dalam
Nikijuluw (2008) juga mengatakan jumlah devisa yang hilang akibat illegal
fishing mencapai $1,9 miliyar atau setara dengan 19 Triliyun Rupiah setiap tahunya. Selain sektor ekonomi
yang dirugikan ada beberapa sektor lain yang dirugikan yaitu sektor ekologi dan
sosial.
Illegal
Fishing di Laut Arafuru
Studi kasus yang lebih
mendalam adalah Laut Arafura. Laut Arafura merupakan daerah penangkapan udang
dan ikan terbesar dan terbaik yang dimiliki Indonesia. Perikanan laut Indonesia
yang masih menganut rezim open access memungkinkan armada penangkapan
dari luar kawasan beroperasi secara bebas di Laut Arafura. Perusahaan perikanan
dari beberapa wilayah yang berbatasan dengan area ini bahkan perusahaan asing
berupaya mengembangkan perikanan tangkap dengan berbagai upaya dan telah
mengakibatkan tekanan penangkapan meningkat secara tajam. Menurut Rahardjo
(2013), ada beberapa masalah serius yang terjadi pada perikanan Laut Arafura
diantaranya:
1. Intensitas
illegal fishing yang saat ini terus meningkat
2. Dampak
masuknya pukat ikan (fish net) dan armada baru pukat udang diduga telah
meningkatkan tekanan penangkapan secara tajam, terutama terhadap komoditas ikan
demersal dan udang di Laut Arafura.
3. Kerusakan
habitat ikan yang disebabkan penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
4.
Keinginan daerah
untuk mengembangkan perikanan tangkap pada berbagai skala usaha dan
kewenangannya perizinan untuk kapal berukuran < 30 GT telah menyebabkan kapasitas
penangkapan yang tidak terkendali.
Tekanan penangkapan yang tak terkendali dan tidak
ramah lingkungan (illegal) serta perubahan kondisi oseanografis Laut Arafura
akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, jumlah jenis, penyebaran, ruaya dan
jumlah populasi sumberdaya ikan.
Pada dasarnya, Laut Arafura memberikan potensi yang
sangat besar. Tercatat menurut Naamin (1987), Laut Arafura telah menjadi tempat
penangkapan udang sejak zaman Jepang. Sejak tahun 1984 tingkat pengusahaan
udang menunjukan kecenderungan yang tinggi dengan memberikan kontribusi 30%
dari total nilai ekspor udang Indonesia. Naamin dan
Sumiono (1983), menyebutkan banyaknya HTS di Laut Arafura diperkirakan mencapai
80% dari hasil tangkapan keseluruhan atau rata-rata 19 kali lebih besar dari
hasil tangkapan udang. Selanjutnya Widodo (1997) mengemukakan bahwa produksi
HTS di Perairan Arafura diperkirakan antara 40.000-70.000 ton setiap tahunnya.
Rahardjo (2013) mengungkapkan data penangkapan udang di Laut Arafura dalam kurun waktu dari 1974-1996 disajikan dalam tabel berikut:
Tabel
menyajikan data, tren hasil tangkapan pertarikan perhari mengalami penurunan
dari 95 kg, 68 kg, 67 kg, 40 kg, 38 kg. Hal ini bisa terjadi karena terjadinya illegal
fishing dan over fishing yang menyebabkan penangkapan melebihi
kapasitas.
Nilai Kerugian Indonesia
Akibat illegal fishing di Laut Arafura
Rahardjo (2013) menyebutkan data hasil pemantauan menggunakan Satelit
Radarsat, jumlah kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura rata-rata mencapai
12.120 kapal setiap tahun dengan jumlah total 14.451.840 GT (Gross Tonage).
Contoh hasil peta sebaran kapal di Laut Arafura adalah sebagai gambar berikut:
Analisis data Radarsat menunjukan banyak kapal
berukuran GT besar yang tidak sesuai izin operasi kapal ikan di Laut Arafura
dan kemungkinan besar ini adalah illegal fishing. Jumlah kapal illegal
fishing melalui hasil pemantauan Radarsat di Laut Arafura mencapai 8.484
kapal/tahun. Kalkulasi nilai kerugian Indonesia akibat illegal fishing di
Laut Arafura setiap tahun adalah sebagai berikut:
Jumah kapal
Illegal = 8.484 kapal
Jumlah Gross
Tonage = 10.116.288 GT
Ekuivalen berat
ikan = 2.023.258,6 Ton = 2.023.258.600 Kg
Jika harga ikan
per kg = US$ 2,00 maka,
Total
Kerugian/tahun = 2.023.258.600 Kg X US$ 2,00 = US$ 4.046.515.200,00
Kerugian akibat illegal fishing di Laut
Arafura setiap tahun mencapai 4 milyar US$ atau 40 triliun rupiah (Kurs Rp
10.000,00/Dolar US), nilai ini jauh lebih besar dari informasi yang diberitakan
oleh Republika OnLine (Sabtu, 23 Nopember 2013) yang hanya menyebutkan
11, 8 triliun rupiah. Jika dihitung kerugian akibat illegal fishing di
Laut Arafura sejak tahun.
Undang-Undang
Sudah seharusnya pemerintah beserta kita semua
menjaga potensi sumberdaya alam yang kita miliki. Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur penggunaan prinsip otonomi. Seiring
dengan prinsip tersebut pemerintah daerah harus bisa menjaga dan mengawasi
hasil kekayaan daerah dan digunakan untuk kepentingan daerah serta kemakmuran
rakyat termasuk kekayaan bawah laut Indonesia.
Menurut Setyadi (2014) Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya illegal fishing di ZEE Indonesia. Salah satunya
yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan hukum
asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha
penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum
asing untuk masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasi serta
mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE Indonesia.
Selanjutnya UU No. 31 2004 diubah menjadi UU No. 45
tahun 2009 tentang Perikanan dan peraturan perundangan lainya yang masih
berlaku. Penangkapan ikan secara illegal sudah jelas melanggal
Undang-Undang tersebut. Negara berhak menuntut dan melaksanakan hokum yang
berlalu (Pratomo, 2014).
Penanganan Illegal Fishing
Sejauh ini, upaya Indonesia dalam menangani masalah
penangkapan illegal adalah dengan Keputusan Mentri Kelautan dan
Perikanan KEP/50/MEN/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan IUU (illegal, unreported, unregulated) Fishing.
Keputusan ini merupakan bentuk dari the Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) yang telah disepakati bersama tahun 1995 oleh
negara-negara anggota FAO (Food and Agriculture) tentang pengelolaan dan
pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung jawab, dan berkelanjutan serta
sebagai berntuk implementasi aksi internasional.
Selanjutnya ketegasan aturan dalam pelaksanaanya
sangat diperlukan. Pemerintah sudah menetapkan kerjasama Internasional RFMO (Regional
Fisheries Management Organization). RFMO adalah kerjasama antar negara (regional
cooperation) untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan Highly
Migratory Fish Stocks dan Straddling Fish Stocks, guna menjamin pemanfaatan
sumber daya tuna secara berkelanjutan.
Tindakan secara konsitusional sudah diatur tinggal
penerapanya, regulasi yang diatur sudah sangat tegas. Selain jalur
konstitusional, tindakan dalam menangani masalah illgal fishing dengan
meningkatkan tingkat pengawasan di perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Detik. 2009. Illegal Fishing Kejahatan Tradisional yang
Dilupakan. (http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-transnasionalyang-dilupakan)
, diakses pada tanggal 22 Februari 2015 pukul 21.00 WIB.
Handoko, Hani. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Naamin,
N., 1987. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man)
di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut No. 42. Balitkanlut, Jakarta: 15-24.
Pratomo,
Wiliater. 2014. Tinjauan Kriminologis terhadap Illegal Fishing yang Terjadi
di Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Rahardjo, Priyanto. 2013. Analisa Nilai Kerugian Akibat
Illegal Fishing di Laut Arafura Tahun 2001-2013. (www.octopuss.org). Diakses pada 25 Februari
2015 pukul 21.07 WIB.
Setyadi,
Ignatius. 2014. Upaya Negara Indonesia dalam Menangani Masalah Illegal
Fishing di Zona Ekomomi Ekslusif. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Sofwan,
Muhammad. 2014. Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Illegal Fishing (Studi
Kasus Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2012). Riau: Universitas
Riau.
Sumiono,B.
1982. Survai udang dengan KM Binama VIII di perairan Arafura, September
1982. Laporan Survai BPPL: 12 hal.
Widodo,
1997. Laporan survai pengamatan sumberdaya perikanan demersal menggunakan KM
Bawal Putih II di perairan Kawasan Timur Indonesia (Nopember 1995-April 1996). Semarang:
BPPI.
1 comments:
bagaimana cara menyelesaikan kasus ini?
Post a Comment