YSEALI: Persahabatan Bervisi Mie Instant

Young SouthEast Asian Leader Initiative Juorney.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Pembagian Potensi Perikanan Indonesia berdasarkan Region.

Romansa Negeri Sakura: Hakone Moutn Shizuoka Perfecture

AFS Intercultural Learning Japan - Kizuna Bond Project.

Pemetaan Mangrove di Sidoarjo dengan Citra Satelit Landsat

Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing.

Saturday, October 3, 2015

Pre-Event APUFY (Asia-Pacific Urban Youth Assembly) 2015 I love YOU (Disaster): A Massive Youth Movement to Practice Strong Leadership in Disaster Preparedness

I love YOU (Disaster): A Massive Youth Movement to Practice Strong Leadership in Disaster Preparedness
#THANKyouDISASTER
by:
Ikbar Al Asyari (Malang)

Smile, tears, and laugh are something common Indonesia, Indonesia is well known as the happiest country in this world with every single problem they had, including disaster. Indonesian always smile every time and everywhere whether they know or not what kind of hazard they’re dealing with. It’s so refresh in our mind in December, 26th 2004 a mega disaster happen in Aceh by tsunami and earthquake 9.1 RS which is more than 160.000 people died and many losses more than $4.500 million. It’s been 11 years since mega tsunami 2004 in Aceh. The next one May, 27th 2006 Yogyakarta was attacked by massive earthquake which is more than 5.700 people died and losses more than $3.000 million. The similar condition also occurs in other countries. Pakistan with its earthquake on October, 8th 2004, earthquake in India on January, 26th 2001. Most of the have more than 5.000 people died and more than $1.000 million losses. There’re so many victim and many losses stuff.  The detail can be seen below:
Comparing with Japan, mega tsunami on March, 11th 2011, a mega earthquake happen 9.0 RS by epicenter in Tohoku. Based on the data, there’re 15.037 people died, 9.487 people disappear, and 5.282 get injured. With almost similar power of disaster, Japan is more ready to deal with disaster reflected by total victim (Muhari et al, 2011).
Disaster preparedness of Japan is the key to anticipate the disaster, The preparedness isn't only about technology and infrastructure, but also human resource development. Upgrading human resource capacity is the most important thing implemented by educating youth and children though disaster education and improving leadership capacity. Preparedness of facing the disaster from the basic science is implemented by collecting the data as much as possible to model the disaster and decide the pola, and mapping the disaster zone as well. Developing human capacity beyond disaster using local wisdom approach through tsunami tendoko which mean when tsunami happens, run away, scatter, save our own life first (Muhari, 2011). Young people and children have a central role as agent of change. Strategy of disaster preparedness is done by disaster awareness and disaster education concept. Disaster isn’t something we have to fear and avoid, disaster is something we should face together. I LOVE YOU (Disaster) is a platform and movement to engage and educate youth and children to build disaster resilience and urban resilience (Istiyanto, 2011).

Educating youth and children as part of the community is so important, seeing children are the most vulnerable when disaster came. Youth and children will lead the community and educate the community. The massive and wide movement can be achieved by involving them, they have the capability to innovate, educate and reach out to their direct and extended family as well as their wider community on how to reduce disaster risk and lead resilience building. Youth and children role is described by picture below:
The concept of I LOVE YOU (Disaster) try to make disaster is something we should face together. It needs youth and children action with local wisdom of disaster zone, supported with creativity, innovation, and technology which is the basic of youth strength and package by strong leadership. With this concept, we can implement disaster preparedness and creating youth and children beyond disaster which means youth and children will lead the community in the middle of disaster.


SOURCES
_____.2011. Ringkasan Eksekutif. (http://siteresources.worldbank.org/ INTINDONESIA/ Resources/ 226271-1150196584718/ ExeSumBhs.pdf). Accessed September, 29th 2015.
Istiyanto, D. 2011. Beberapa Catatan Menuju Strategi Efektif Pengurangan Resiko Bencana Tsunami. Balai Pengkajian Dinamika Pantai: ISTECS
Muhari, A. 2011. Belajar dari Bencana Jepang 11.03.2011. ISTECS
Muhari, A. 2011. Dampak Tsunami Jepang 2011 Terhadap Manusia: Permasalahan Dibalik Tingginya Angka Korban Jiwa. Tohoku University.



This article is publish regarding the discussion before APUFY (Asia-Pacific Urban Youth Assembly) 2015 Jakarta on October, 17th-18th.


Please visit: apufy website

Thursday, October 1, 2015

REKONSTRUKSI PERENCANAAN UTOPIA DAN SIKAP TERHADAP KEPULAUAN KARIMUN JAWA

1.        Pendahuluan
Kepulauan Karimun Jawa secara geografis terletak di Provinsi Jawa Tengah dan telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut Karimun Jawa berdasarkan SK. Menhut Nomor 74/Kpts-II/2001; Tgl 15-3-2001. Pulau Karimunjawa (ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah) 1.285,50 ha, dan wilayah perairan 110.117,30 ha.  Kepulauan Karimun Jawa memiliki luas 107.225 ha, yang terdiri dari lautan seluas 100.105 ha, dan daratan seluas 7.120 ha yang tersebar di 27 pulau. Dari 27 pulau tersebut, 5 diantaranya telah berpenghuni yaitu P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang, P. Nyamuk dan P.Genting. Pulau-pulau yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa terdiri dari 22 pulau, sedangkan 5 pulau lainnya tidak termasuk ke dalam kawasan tersebut, yaitu P. Genting, P. Sambangan, P. Seruni, P. Cendikian, dan P. Gundul (Yusuf, 2013).

TN Karimunjawa mempunyai luasan total 111.625 ha, terdiri dari wilayah daratan di Pulau Kemujan (ekosistem mangrove) 222,20 ha. Kawasan TN Karimunjawa terdapat lima tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Berbagai upaya identifikasi dan invetarisasi flora dan fauna telah dilakukan baik oleh Balai Taman Nasional Karimun Jawa (BTNKJ) maupun oleh instansi terkait. Berdasarkan jenis habitatnya, saat ini telah teridentifikasi 262 spesies flora yang terdiri atas 171 flora yang hidup hutan hujan tropis dataran rendah (151 flora hutan hujan tropis, 11 spesies lumut, 15 spesies jamur), 45 spesies mangrove, 34 spesies flora hutan pantai, 11 spesie lamun, 18 spesies rumput laut. Sedangkan untuk fauna, saat ini telah teridentifikasi 897 spesies/genus fauna yang tersusun atas beberapa taxa yaitu Mamalia (7), Aves (116), Reptilia (13), Insekta (42), Pisces (412),Anthozoa (182 skeleractinian dan 23 non skeleractinian), Plathyhelminthes (2), Annelida (2),Gastropoda (47), Bivalvia (8), Cephalopoda (7), Arthopoda (5), Echinodermata (31) (KKP, 2013).
1.        Kondisi Kep. Karimun Jawa
1.2.1.                  Kondisi Fisik dan Alam
Selain kondisi alam yang bagus, kep. Karimun Jawa juga didukung kondisi fisik yang bagus. Iklim di kep. Karimun Jawa termasuk ke dalam tipw C dengan curah hujan 3.000 mm/th dan suhu antara 30-310C. kondisi oseanografi kawasan tersebut rata-rata kecepatan arus adalah 8-25 cm/dt. Kondisi topografi adalah berupa dataran rendah yang bergelombang dan ketinggian antara 0-506 m dari permukaan laut. Kondisi hidrologi kawasan Taman Nasional Karimunjawa tidak terdapat sungai besar, namun terdapat lima mata air besar, yaitu Kapuran (Pancuran Belakang), Legon Goprak, Legon Lele, Cikmas dan Nyamplungan, yang dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan memasak oleh masyarakat sekitar (Supriharyono, 2003).
Fakta di lapangan, keberadaan pulau-pulau kecil di kawasan TN Karimun Jawa sangat strategis sebagai salah satu sumber ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi kepulauan Karimun Jawa yang masih sangat bagus menambal nilai ekonomis kawasan tersebut. Pada kepulauan Karimun Jawa dapat dijumpai berbagai macam ekosistem laut diantaranya: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem padang lamun. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan paling produktif di lautan, hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Yusuf (2013) menyebutkan kondisi terumbu karang di Kep. Karimun Jawa terdapat 20-33 genus. Jumlah terbesar ditemukan di P. Tengah, P. Kecil, P. Krakal Kecil dan P. Kumbang, sedangkan yang terendah ditemukan di P. Kemujan, dan P. Menyawakan. Kepadatan ikan-ikan karang yang didapatkan di perairan Karimunjawa berkisar antara 0,5–3,2 ekor/m2 atau ratarata sebesar 1,14 ekor/m2. Kepadatan terendah ditemukan di P. Menjangan Kecil dan tertinggi di P. Sintok dengan total potensi sumberdaya ikan adalah 653,1 ton/th.
Ekosistem hutan mangrove Taman Nasional Karimunjawa terdapat di Pulau Karimunjawa, Kemujan, Cemara Kecil, Cemara Besar, Krakal Kecil, Krakal Besar, Mrico, Menyawakan, dan Sintok. Hutan mangrove terluas terdapat di Pulau Kemujan dan Karimunjawa seluas 396,90 ha yang didominasi oleh jenis Exoccaria agallocha sedangkan jenis Rhizhophora stylosa menyebar di seluruh wilayah. Spesies mangrove yang ditemukan di Karimunjawa terdiri dari 44 spesies yang terdiri atas 26 spesies mangrove sejati dan 13 spesies mangrove ikutan yang berada di dalam kawasan dan 5 spesies di luar kawasan taman nasional. Padang lamun tersebar diseluruh kawasan taman nasional hingga kedalaman 25 m. Jenis lamun yang ditemukan sebanyak 9 jenis yaitu Enhalus acroides, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, C.Serulata, Halodule pinifolia, H.univervis, Syringodium isotifolium, dan Thalassodendrum ciliatum. Dengan persentase penutupan dan kerapatan relatif cukup banyak pada jenis Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis (Anggraeni, 2008).
1.2.2.                  Kondisi Sosial

Berdasarkan Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2002, kawasan Taman Nasional Karimunjawa dihuni penduduk sebanyak 8.842 jiwa. Tingkat pendidikan di Kepulauan Karimunjawa lebih banyak tamat, tidak tamat dan belum sekolah. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua, rendahnya kesadaran dan keterbatasan biaya.
Mata pencaharian masyarakat karimunjawa didominasi oleh buruh tani/nelayan yaitu sebesar 61%. Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perikanan. Masyarakat  Karimunjawa berasal dari etnis Jawa, Madura, Bajo, Bugis, Muna, Luwu, Buton dan Mandar. Mayoritas penduduk Karimunjawa berasal dari Jawa, namun sebagian besar etnis telah berbaur dan berinteraksi dengan etnis lain. Salah satu kebiasaan warga karimunjawa pada setiap Kamis malam adalah mengadakan acara tahlillan secara bergilir di setiap lingkungan dengan tujuan mempererat silaturahmi.

1.        Rencana Pengembangan Kep. Karimun Jawa
Kepulauan Karimun Jawa memiliki kondisi alam yang sangat bagus dan memiliki kearifan masyarakat yang pro aktif dalam pembangunan dan pengembangan kawasan konservasi TN Karimun Jawa. Dengan kondisi alam dan masyarakat yang dinamis dan aktif, maka pengembangan dan pembangunan daerah Kep. Karimun Jawa adalah sebagai kawasan konservasi dan ekowisata secara terpadu berbasis masyarakat. Menurut Balai Taman Nasional Karimun Jawa (2004) visi utama pengembangan TN Karimun Jawa adalah memanfaatkan potensi sumber daya yang ada dengan melestarikan fungsi ekosistem menuju terwujudnya hubungan yang seimbang, seriasi, selaras antara manusia dan lingkungannya yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah kepulauan karimunjawa.
Keterpaduan dan integrasi Kep. Karimun Jawa dapat dicapai dengan adanya 1.) keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan yang besar dan beragam, 2.) peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk, 3.) tuntutan keseimbangan antara kepentingan konservasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sebagai pusat pengembangan kegiatan ekonomi dalam proses pembangunan. Pengembangan aspek sosial, ekonomi, dan budaya: dilakukan secara berkelanjutan dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Integrasi dan keterpaduan pengelolaan Kep. Karimun Jawa meliputi beberapa hal diataranya: aspek ekologis, sektor, multi disiplin ilmu, stakeholder, dan private sector. Pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan kep. Karimunjawa menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud satu rencana dan satu pengelolaan serta tercapainya pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Balai Taman Nasional Karimun Jawa (2004) menentukan arah kebijakan pengelolaan Kep. Karimun Jawa menjadi 5 arah kebijakan. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kebijakan pemberdayaan masyarakat (memperkuat peran penduduk asli, dan pembangunan ekonomi masyarakat)
2.      Kebijakan konservasi lingkungan biofisik
3.      Kebijakan sistem pemanfaatan zona
4.      Kebijakan pengembangan pariwisata bahari terpadu
5.      Kebijakan pengembangan kelembagaan dan pembiayaan.


2.    Pengembangan Sektor Ekowisata Kep. Karimun Jawa
Sektor pariwisata adalah sektor pendongkrak roda perekonomian. Sektor pariwisata mampu memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kehidupan masyarakat sekitar. Sektor wisata dipadupadankan dengan ekologis menajdi ekowisata. Konsep ekowisata diharapkan mampu menggerakan roda ekonomi dengan tetap ramah terhadap lingkungan. Pembangunan Kep. Karimunjawa harus mampu mengakomodir dua hal penting, yaitu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Oleh karenanya pembangunan Karimunjawa harus memiliki manfaat terbesar untuk masyarakat. Orientasi pengembangan harus memiliki keseimbangan kepentingan antara ekonomi dan konservasi dan seluruh rangkaian proses dari pengembangan sampai dengan pembangunan melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait. Pariwisata dikembangkan dengan menggunakan prinsip sebagai berikut:
1.    Pariwisata sebagai industri,
2.    Pariwisata berkelanjutan
3.    Pariwisata sebagai pengembangan wilayah
4.    Keterpaduan sistem permintaan dan penawaran
5.    pemberdayaan masyarakat lokal
6.    Sinergis dan komplementasi
Tampaknya, konsep ekowisata (eco-tourism) hanya menjadi wacana belaka. Konsep ini hanya sebagai konsep, tetapi pada kenyataan lapang tetap menimbulkan masalah degradasi lingkungan. Secara umum, fungsi utama kawasan taman nasional adalah sebagai daerah perlindungan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Kerusakan lingkungan dari proses penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan, waste management yang kurang bagus ditambah dengan jumlah wisatawan yang semakin besar.
Degradasi yang terjadi dapat dilihat dari tabel di bawah menurut Suryanti (2010):

Data di atas merupakan data yang didapat dari analisa citra satelit dalam skala periode waktu. Data didapat dari perbandingan tahun 1991, 2002, 2004, dan 2009. Terdapat perubahan yang signifikan dari tahun 1991 hingga tahun 2002. Ekosistem karang hidup mengalami degradasi sebesar 15,1%, lamun sebesar 9,1%, dan mangrove mengalami perluasan 43,0%. Tahun 2002-2004 degradasi 6,4%, 0,3%, dan 51,4% untuk karang hidup, lamun, dan mangrove. Kondisi ini terus berlangsung dari waktu ke waktu hingga saat ini.
Dari data diatas, ekowisata memang cara baik untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Akan tetapi, fakta di lapang ekowisata masih tidak bisa menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan ekologi. Dengan demikian TN Karimun Jawa, kabupaten Jepara harus dikembalikan ke tujuan semula untuk tujuan konservasi dan perlindungan lingkungan.

REFERENSI

Anggraeni, R. 2008. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Nasional Karimunjawa. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
BTNKJ. 2004. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Departemen Kehutanan.
KKP. 2013. Basis Data Konservasi. (http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ index.php/basisdata- kawasan-konservasi/details/1/13). Diakses pada 28 September 2015 Pukul 16.59.
Supriharyono. 2003. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryanti. 2010. Degradasi Pantai Berbasis Ekosistem di Pulau Karimun Jawa Kabupaten Jepara. Semarang: Universitas Diponegoro.
Yusuf, M. 2013. Kondisi Terumbu Karang dan Potensi Ikan di Perairan Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Semarang: Universitas Diponegoro.

Tuesday, September 29, 2015

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN METODE ONE-LINE MODEL (STUDI KASUS : PANTAI MANGARABOMBANG – GALESONG SELATAN, KABUPATEN TAKALAR)

Pendahuluan
Secara geografis kawasan Kecamatan Gale song Selatan, Kecamatan Sanrobone, Kecamatan Mappakasunggu dan Kecamatan Mangarabombang berada pada bagian barat Kabupaten Takalar dengan ciri khas sebagai daerah datar dan merupakan daerah pesisir.
Upaya manusia dalam memanfaatkan kawasan pantai sering tidak dilandasi pemahaman yang baik tentang perilaku pantai. Akibatnya, berbagai masalah pantai bermunculan. Salah satunya adalah proses abrasi dan akresi garis pantai. Proses abrasi dan akresi garis pantai pada mulanya timbul secara alami, akan tetapi proses akan berlangsung lebih cepat jika pembangunan sarana kepentingan manusia tidak didasari dengan pengetahuan yang baik tentang perilaku proses dinamika perairan pantai, dalam hal ini perubahan garis pantai.
Perubahan garis pantai menyebabkan beberapa masalah timbul contohnya terkikisnya daerah pesisir sampai, abrasi, sedimentasi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menganalisis transformasi gelombang yang dibangkitkan oleh angin dari laut lepas menuju ke pantai serta membuat model perubahan garis pantai dengan menggunakan One-Line Model di wilayah pantai Mangarabombang sampai Pantai Galesong Selatan.
Data yang digunakan terdiri dari: data kedalaman dasar laut, data tinggi gelombang pecah, dan arah gelombang laut lepas, gelombang pecah, dan data garis pantai awal (menggunakan citra Landsat).

Hasil
Model perubahan garis pantai selama 12 tahun menunjukan hasil yang mirip dengan citra. Hal ini telah melewati proses trial and error. Berikut merupakan perbangingan abrasi dan akresi:

4 titik lokasi pengamatan, pada lokasi A bagian bawah dan tengah, pada lokasi B bagian atas dan pada lokasi C bagian tengah dimana morfologi pantainya membentuk teluk. Selanjutnya pada garis pantai yang berbentuk tanjung yaitu pada lokasi B bagian tengah, C bagian tengah, dan D bagian bawah dan tengah hasil model memperlihatkan adanya abrasi.



Analisa
Metode yang digunakan adalah one line model dengan mempertimbangkan angkutan sedimen dan mempertimbangkan gelombang pecah. Disisi lain, ada metode: Shibutani et al. (2007) membuat model perubahan garis pantai berdasarkan angkutan sedimen. Siswanto et al. (2010) menganalisis stabilitas garis pantai di Kabupaten Bangkalan dengan menggunakan One-Line Model. Dewi (2011) membuat model numerik transformasi gelombang selama delapan tahundan menemukan bahwa pantai yang berbentuk tonjolan mengalami abrasi sedangkan pantai yang berbentuk lekukan mengalami sedimentasi.



REFERENSI

Awaliyah, W., Sakka, Hamzah. ____.  Model Perubahan Garis Pantai dengan Metode One-Line Model (Studi Kasus : Pantai Mangarabombang – Galesong Selatan, Kabupaten Takalar). Makassar: Universitas Hassanuddin.
Dewi I.P,. 2011, Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara, Kalimantan Timu [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Shibutani Y, Kuroiwa M, Matsubara Y. 2007. One-Line Model for Predicting Shoreline Changes Due to Beach Nourishments. J Coas Eng 50:511 – 515.
Siswanto AD, Pratikto WA, Suntoya. 2010. Analisis Stabilitas Garis Pantai di Kabupaten Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol.15 (4), Hal 221 – 230.


Wednesday, August 12, 2015

TENTANG: HYDROTHERMAL VENT (Cerobong Asap Bawah Laut)

Definisi Hydrothermal Vent

Hydrothermal vent merupakan hasil dari peresapan air laut melalui celah di kerak samudera disekitar zona subduksi yaitu tempat dimana terdapat 2 lempeng tektonik yang menjauh satu sama lain.  Air laut yang dingin akan dipanaskan oleh magma panas di perut bumi dan akan berinteraksi dengan batuan di  sekitar kerak bumi yang mengandung unsur-unsur tembaga, seng, besi, timah, sulfur, dan silica, yang kemudian keluar melalui vent. Suhu air laut di hydrothermal vent mencapai lebih dari 340° C atau 700° F. Air yang keluar dari hydrothermal vent tidak mendidih karena adanya tekanan yang ekstrim di laut dalam, dimana hydrothermal vent itu terbentuk (NOAA, 2013).
Gambar 1. Proses Hydrothermal Vent
Sumber : Google image, 2015
Tipe Hydrothermal Vent
Terdapat 2 tipe vent berdasarkan kandungan bahan kimianya yaitu Black Smokers dan White Smokerss. Black Smokerss merupakan hydrothermal vent yang mengeluarkan partikel sulfida gelap yang merupakan kelompok bahan mineral yang mengandung sulfur. Black Smokers di laut dalam terbentuk karena adanya dorongan sirkulasi dan pemanasan air laut di kedalaman 2-8 km di kerak samudera. Proses terjadinya adalah ketika suhu disekitar vent lebih rendah seperti di Rise Pasifik Timur.
White Smokers merupakan hydrothermal vent yang mengeluarkan asap warna putih karena mineral sulfida yang mengendap dalam gundukan sebelum cairan keluar melalui vent (Kelley, 2001). Suhu pada  cairan white smokerss lebih dingin yang berkisar sekitar 250-300 °C dan mengalir lebih lambat dibandingkan dengan cairan black smokerss. Ukuran cerobong white smokerss pada umumnya lebih kecil. Warna putih berasal dari mineral yang terbentuk pada saat cairan hidrotermal keluar melalui cerobong dan bercampur dengan air laut.  
Dalam white smokerss, cairan hidrotermal bercampur dengan air laut di bawah dasar laut.   Oleh karena itu, mineral-mineral hitam terlebih dahulu terbentuk di bawah dasar laut sebelum cairan hidrotermal keluar melalui cerobong. cairan hidrotermal keluar melalui cerobong berbentuk seperti kristal-kristal kecil silika. Reaksi kimia yang lain membentuk mineral putih yang disebut anhidrit.  Kedua mineral ini merubah warna cairan hidrotermal yang keluar melalui cerobong menjadi putih.
Gambar 2. Balck Smoker
Sumber : Google image, 2015
Gambar 3. White Smokers
Proses Kimia di Hydrothermal Vent
Saat asap hydrothermal vent keluar, akan memicu terjadinya rekasi kimia. Sulfur dan bahan kimia lainnya yang keluar membentuk vent yang kaya akan bahan kimia dan deposit mineral didasar laut. Cairan yang keluar juga mengandung bahan kimia yang menjadi sumber makanan bagi mikroba di dasar laut yang jauh dari penetrasi sinar matahari.
Mikroba di hydrothermal vent tidak mengandalkan fotosintesis untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbon organik, tetapi mengandalkan proses kemosintesis. Mikroba ini menggunakan bahan kimia seperti hidrogen sulfida untuk menyediakan sumber energi yang mendorong proses metabolisme dan akan mendukung kehidupan bagi organisme yang ada di hydrothermal vent, dimana .
Fotosintesis hanya dapat terjadi di darat dan di perairan dangkal yang memanfaatkan sinar matahari untuk membuat makanan. Sedangkan kemosintesis adalah proses dimana makanan (glukosa) dibuat oleh bakteri dengan menggunakan bahan kimia sebagai sumber energi. Kemosintesis terjadi di sekitar hydrothermal vent di mana sinar matahari tidak ada. Selama proses kemosintesis, bakteri yang hidup di dasar laut atau bakteri yang bersimbiosis dengan organisme laut dalam menggunakan energi yang tersimpan dalam ikatan kimia hidrogen sulfida dan metana untuk membuat glukosa dari air dan karbon dioksida yang terlarut dalam air laut.
Proses Kemosintesis

Gambar 4. Proses Kemosintesis
Sumber : Google image, 2015
1.      Air panas yang keluar dari ventilasi hidrotermal dijenuhkan dengan bahan kimia terlarut
2.      Bakteri menyerap hidrogen sulfida dan karbon dioksida dari air ventilasi dan oksigen dari air laut
3.  Bakteri menggunakan energi yang dilepaskan dengan mengoksidasi sulfur untuk membuat molekul organic
4.     Bakteri tumbuh dan berkembang biak, dan dimakan atau host sebagai simbion internal dengan hewan lain

Referensi:
Jannasch, Holger  W. 1989.  Sulphur Emission And Transformations At Deep Sea Hydrothermal Vents. SCOPE Published
Kelley, D.S. 2001. Black Smokerss: Incubators on the Seafloor. In: Earth Inside and Out, (ed. E. Mathez) American Museum of Natural History, 184-189, The New Press, New York.
NOAA. 2013. A Hydrothermal Vent Forms when Seawater Meets Hot Magma, (http://oceanservice.noaa.gov/facts/vents.html) diakses tanggal 6 Mei 2015.
WHOI. 2015. Hydrothermal Vents : Woods Hole Oceanographic Institution (http://www.whoi.edu/main/topic/hydrothermal-vents) diakses tanggal 6 Mei 2015.



Tuesday, August 11, 2015

ANALISA PERATURAN MENTRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NO.2 TAHUN 2015

ANALISA PERATURAN MENTRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NO.2 TAHUN 2015
Oleh: Ikbar Al Asyari (Ilmu Kelautan Univ. Brawijaya)


1.    Pendahuluan
Pembangunan sektor perikanan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan bidang ekonomi. Berbagai hal sudah dilakukan demi upaya menjaga dan memanajemen sumberdaya yang ada sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 31 tahun 2004, yang intinya memberikan mandat kepada pemerintah didalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan. Salah satu untuk menjaga kelestarian ikan pemerintah mengatur tentang alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.
Kenyataan di lapang, sumberdaya perikanan Indonesia mengalami degradasi yang sangat tinggi dengan meningkatnya overfishing dan menurunya stok ikan yang ada. Penggunaan alat tangkap dan metode tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan menyebabkan overfishing dan menurunya stok ikan. Alat tangkap diantarnya adalah cantrang. Penggunaan alat penangkap ikan cantrang di Indonesia banyak digunakan oleh para nelayan di pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah terutama bagian utara. Cantrang adalah sejenis pukat tarik  yang biasanya digunakan untuk menangkap  udang dan ikan demersal. Menurut beberapa penelitian, cantrang diindikasikan sebagai alat tangkap ikan yang kurang ramah lingkungan karena hampir mirip dengan trawl.
Metode menangkap ikan dengan mengunakan cantrang dengan cara membabi buta, menggunakan perahu/kapal dengan jaringnya yang  berkantong, bersayap dan mempunyai mulut jaring yang lebar, panjang dan dalam. Sehingga lebih banyak ikan yang ditangkap dalam waktu singkat. Tentu ini secara ekonomi adalah efisien dan efektif.  Namun efek dari jaring cantrang  itu, banyak juga ikan kecil-kecil maupun ikan yang tidak bisa dikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja dan dibuang kembali ke laut. Di sinilah efek negatif jaring ini  sangat kuat untuk merusak lingkungan. Dan sebenarnya dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi bangsa juga. Karena penggunaan cantrang ini, maka banyak ikan-ikan kecil yang ikut mati terjaring. Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan habis karena tidak sempat regenerasi dengan alami.
Dengan demikian perlu adanya regulasi yang mengatur untuk manajemen sumberdaya secara berkelanjutan. Sehingga adanya sumberdaya yang ada tidak hanya kita nikmati sepihak tetapi anak cucu kedepan juga bisa menikmati seperti yang kita rasakan.
  1. Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan dampak penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang tersebut dikeluarkanlah Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan NO.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Dasar yang digunakan untuk analisa penggunaan cantrang adalah perikanan berkelanjutan, nilai keberlanjutan alat tangkap. Berdasarkan jenis alat tangkap dapat dibedakan sebagai berikut:
1.    Alat tangkap selektif, ialah alat tangkap yang ramah secara ekologis (ecologically friendly). Contoh paling umum dari alat penangkapan ikan kategori ini ialah pancing;
2.   Alat tangkap yang cenderung menyebabkan terjadinya tangkap lebih (overfishing), sehingga bisa merusak sumber daya dan ekologi;
3.   Alat tangkap yang dalam operasinya cederung menyebabkan kerusakan habitat ikan sehingga berdampak negatif secara ekologis;
4.   Alat tangkap yang cenderung merusak secara ekologis melalui tangkap lebih dan kerusakan habitat ikan;

Di negara tetangga dapat dilihat perbandingan sebagai berikut:







Penerapan PERMEN-KP No. 2 Tahun 2015 secara konsekuen. Dalam waktu singkat, beberapa dampak langsung yang bias dirasakan termasuk:

1.    Puluhan ribu nelayan bersama rumah tangga perikanan akan kehilangan pekerjaan dan unit usaha bisnis di bidang perikanan tangkap;
2.    Hasil tangkapan ikan akan turun secara mendadak sampai terjadi keseimbangan yang baru;
3.    Unit usaha pengolahan ikan akan kekurangan bahan baku secara mendadak sampai terjadi keseimbangan yang baru (pengalihan usaha bisnis);
4.    Berkurangnya lapangan pekerjaan (serapan tenaga kerja) secara mendadak, sebelum adanya alternatif lapangan pekerjaan yang baru
Paling tidak, ke-empat point di atas akan menyebabkan dampak ekonomi nyata pada tingkat nelayan dan rumah tangga perikanan. Berkurangnya pendapatan atau hilangnya sumber mata pencaharian sering menimbulkan dampak sosial yang sulit bisa dikompensasi. Oleh karena itu, pemerintah harus segera memperhatikan dan melakukan jalan pintas (break trhough) untuk mengurangi dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dari PERMEN-KP No. 2 Tahun 2015.
Jadi secara garis besar ada dua aspek utama yaitu ekologis dan ekonomi. Dalam kenyataan kesadaran masyarakat perikanan dalam melestarian sumberdaya ikan sangatlah minim dan cenderung merusak. Pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang akan meminimalisir over fishing, perusakan terumbu karang  dan tentunya menjaga  pelestarian suberdaya perikanan, hal ini masuk dalam aspek ekologi. Dan secara ekonomi yang berdampak pada penurunan pendapatan nelayan.
1.    Rekomendasi
Dari analisa kebijakan Permen NO.2/PERMEN-KP/2015 terlihat 2 kepentingan yang saling bertubrukan, dimana pemerintah ingin melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan dengan menjaga populasi ikan, disisi lain banyak masyarakat nelayan yang bertumpu pada penggunaan alat cantrang dan ingin terus menggunakan alat tersebut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Untuk itu agar peraturan tersebut tetap terlaksana tampa merugikan nelayan cantrang, maka ada beberapa rekomendasi yang dapat menjadi rujukan pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut yaitu ;
1.    Pemerintah harus kontinyu mensosialisasikan Permen NO.  2/PERMEN-KP/2015 kepada nelayan cantrang di seluruh Indonesia dengan melibatkan pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat., dan nelayan itu sendiri di setiap daerah  masing-masing.
2.    Terus membangun kesadaran masyarakat dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan berbasis ekosistem, dimana sumber daya perikanan tidak boleh di eksploitasi habis tapi juga untuk generasi berikutnya.
3.    Redesign alat tangkap nelayan cantrang agar alat tangkap tersebut menjadi ramah lingkungan sesuai petunjuk teknis Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2011, tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
4.    Penggantian alat tangkap cantrang dengan alap pengkap ikan yang ramah lingkungan secara bertahap dan adanya pendampingan terus menerus oleh pihak pemerintah.
5.    Pemerintah harus berpijak pada pengelolaan perikanan berbasis kerakyatan dimana keterlibatan penguna ( user ) yaitu masyarakat nelayan dalam  pengelolaan perikanan secara berkelanjutan sangatlah penting karena tidak ada program pengelolaan yang sukses tampa terlibatnya pengguna. Pennguna harus mengambil bagian dalam semua fase pengembangan rencana pengelolahan dan implementasi program pengelolahan perikanan berkelanjutan. Misalnya melibatkan masyarakat nelayan dalam membuat peraturan pengelolahan perikanan di Indonesia.
Dengan adanya rekomendasi tersebut diharapkan konflik adanya Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan NO.  2/PERMEN-KP/2015 dapat di minimalisir dan tentunya semua berharap pembangunan perikanan yang berkelanjutan dapat terwujud dan meningkatkan perekonomian masayarakat nelayan di Indonesia.


DAFTAR REFERENSI

Ardidja,S. 2005. Metode Penangkapn Ikan Jl.1. Cianjur : CV. Baruna Ilmu Indonesia
Ardidja,S. 2005. Metode Penangkapn Ikan Jl.2. Cianjur : CV. Baruna Ilmu Indonesia
Cahyani, TR. 2013. Kajian Penggunaan Cantrang Terhadap  Kelestarian Sumberdaya Ikan Demersal. Universitas Diponegoro. Semarang
Mallawa,A. 2006. Pengelolahan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Penelitian Program COREMAP II Kab. Selayar
Nainggolan, C. 2012. Metode Penangkapan Ikan. Tangerang : Penerbit Universitas Terbuka.
Rendra, E. 2015. Analisis Kebijakan tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jenis Cantrang ( Pukat  Tarik ) di Indonesia. (http://www. Analisiskebijakantentangapi.com-150228042108-conversion-gate02). Diakses pada 31 Mei 2015 pukul 22..23 WIB
Sondita, A.F.A. 2012. Manajemen Sumber Daya Perikanan. Jakarta : Penerbit Universitas Terbuka.
Sukandar et al. 2015.  Tinjauan Akademis terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Beberapa Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Malang: FPIK Universitas Brawijaya.
Wardhani, RK , dkk. 2012. Analisis Usaha Alat Tangkap Cantrang (Boat Seine) Di Pelabuhan Perikanan Pantai Tawang Kabupaten Kendal. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology  Volume 1, Nomor 1,  Th. 2012 Hlm 67-76